Blogroll

Postingan
Komentar

Selasa, 04 Oktober 2011

Habib Syeh -Ya Hanana

Sejarah Perkembangan Sosiologi Pendidikan Islam

1. Sejarah Perkembangan Sosiologi
Berkembangnya ilmu pengetahuan di abad pencerahan (sekitar abad ke-17 M), turut berpengaruh terhadap pandangan mengenai perubahan masyarakat, ciri-ciri ilmiah mulai tampak di abad ini. Para ahli di zaman itu berpendapat bahwa pandangan mengenai perubahan masyarakat harus berpedoman pada akal budi manusia.
Pemikiran dan perhatian intelektual terhadap masalah-masalah serta isu-isu yang berhubungan dengan sosiologi sudah lama berkembang sebelum sosiologi itu lahir sebagai disiplin Ilmu. Para ahli filsafat pencerahan (Enligtenment) pada abad ke- 18 sudah menekankan peranan akal budi yang potensial dalam memahami perilaku manusia dan dalam memberikan landasan untuk hokum-hukum dan organisasi Negara. Pemikiran mereka lebih ditekankan pada dobrakan utama terhadap pemikiran abad pertengahan yang bergaya skolastik atay dogmatis dimana perilaku manusia dan organisasi masyarakat itu sudah dijelaskan dalam hubungannya dengan kepercayaan-kepercayaan agama.
Sejarawan dan filsuf sosial islam Tunisia, Ibn Khaldun (1332-1406), sudah merumuskan suatu model tentang suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat-masyarakat halus yang bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras . Karya Ibn Khaldun tersebut dituangkan dalam bukunya yang berjudul Al-Muqoddimah tentang sejarah dunia dan sosial budaya yang dipandang sebagai karya besar di bidang tersebut . Dari kajiannya tentang watak masyarakat manusia, Khaldun menyimpulkan bahwa kehidupan nomaden lebih dahulu ada dibanding kehidupan kota dan masing-masing kehidupan ini memiliki karakteristik tersendiri. Menurut pengamatannya, polotik tidak akan timbul kecuali dengan penaklukan, dan penaklukan tidak akan terealisasi kecuali dengan solidaritas. Lebih jauh lagi, ia mengemukakan bahwa kelompok yang terkalahkan selalu senang mengekor ke kelompok yang menang, baik dalam selogan, pakaian, kendaraan, dan tradisi. Selain itu, salah satu watak seorang raja adalah sikapnya yang menggemari kemewahan, kesenangan, dan kedamaian. Dan apabila hal-hal ini semuanya mewatnai sebuah Negara maka Negara itu akan masuk dalam masa senja. Dengan demikian kebudayaan ttu adalah tujuan masyarakat manusia dan akhir usia senja .
Pendapat Khaldun tentang watak-watak masyarakat manusia dijadikannya sebagai landasan konsepsinya bahwa kebudayaan dalam berbagai bangsa berkembang melalui empat fase, yaitu fase primitive atau nomaden, fase urbanisasi, fase kemewahan, dan fase kemunduran yang mengantarkan kehancuran. Kemudian keempat perkembangan ini oleh Ibn Khaldun sering disebut dengan fase pembangunan, pemberi kabar gembira, penurut, dan penghancur.
Model masyarakat yang Khaldun gambarkan mengenai tipe-tipe social dan perubahan sosial diwarnai oleh warisan khusus dari pengalaman dunia gurun pasir di Jazirah Arab. Tujuannya tidak hanya untuk memberikan suatu derskripsi historis mengenai masyarakat-masyarakat Islam Arab, tetapi untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang mengatur dinamika masyarakat dan proses perubahan social secara keseluruhan. Semangat atau sikap ilmiahnya dalam menganalisis sosial budaya, pada umumnya mendekati bentuk peneelitian ilmiah modern, dan isinya secara substantive dapat disejajarkan dengan teori social modern. Namun demikian, karya Khaldun sudah banyak diabaikan oleh para ahli teori social di Eropa dan Amerika, mungkin antara lain karena dunia Arab saat itu mulai mundur, sedangkan Eropa dan Amerika semakin mendominasi .
Kelahiran sosiologi, lazimya dihubungkan dengan seorang ilmuwan Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857), yang dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan untuk mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empiris yang kuat. Ilmu tentang masyarakat itu pada awalnya Auguste Comte diberi nama “social physics” (fisika sosial), kemudian dirubahnya sendiri dengan “sociology” karena istilah fisika sosial tersebut dalam waktu yang bersamaan digunakan oleh seorang ahli statistik sosial Belgia bernama Adophe Quetelet.
Banyaknya ahli sepakat bahwa banyak faktor yang melatarbelakangi kelahiran sosiologi adalah karena adanya krisis-krisis yang terjadi di dalam masyarakat. Misalnya, Laeyendecker mengaitkan kelahiran sosiologi dengan serangkaian perubahan dan krisis yang terjadi di Eropa Barat. Proses perubahan dan krisis yang diidentifikasi Laeyendecker adalah tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15, perubahan-perubahan di bidang sosial-politik, perubahan berkenaan dengan reformasi Martin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern, berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri, dan revolusi industri pada abad ke-18, serta terjadinya Revolusi Perancis. Sosiologi acapkali disebut sebagai “ilmu keranjang sampah” (dengan nada memuji), karena membahas ikhwal atau masalah yang lebih banyak terfokus pada problem kemasyarakatan yang timbul akibat krisis-krisis sosial yang terjadi.
Sejak awal kelahirannya, sosiologi banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial. Tetapi, berbeda dengan filsafat sosial yang banyak dipengaruhi ilmu alam dan memandang masyarakat sebagai “mekanisme” yang dikuasai hukum-hukum mekanis, sosiologi lebih menempatkan warga masyarakat sebagai individu yang relatif bebas. Para filsuf sosial, seperti Plato dan Aristoteles, umumnya berkeyakinan bahwa seluruh tertib dan keteraturan dunia dan masyarakat langsung berasal dari suatu tertib dan keraturan yang adimanusiawi, abadi, tidak terubahkan, dan ahistoris. Sementara sosiologi justru mempertanyakan keyakinan lama dari para filsuf itu, dan sebagai gantinya muncullah keyakinan baru yang dipandang lebih mencerminkan realitas sosial yang sebenarnya. Para ahli sosiologi telah menyadari bahwa bentuk kehidupan bersama, adalah ciptaan manusia itu sendiri. Bentuk-bentuk masyarakat, gejala pelapisan sosial, dan pola-pola interaksi yang berbeda, sekarang lebih dilihat sebagai hasil inisiatif atau hasil kesepakatan manusia itu sendiri.
Sosiologi mulai memperoleh bentuk dan diakui eksistensinya sekitas abad ke-19, tidaklah berarti bahwa baru pada waktu itu orang memperoleh tentang bagaimana masyarakat dan interaksi sosial. Jauh sebelum Auguste Comte memproklamirkan kehadiran sosiologi, orang-orang telah memiliki pengetahuan tentang kehidupannya yang diperoleh dari pengalamannya. Namun, karena belum dirumuskan dengan metode yang mantap, pengetahuan mereka disebut pengetahuan sosial, bukan pengetahuan ilmiah. Kemudian Auguste Comte menulis buku-buku tentang berbagai pendekatan umum untuk mempelajari masyarakat. Dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan tertentu berdasarkan logika dan setiap penelitian dilakukan melalui tahap-tahap tertentu untuk mencapai tahap akhir, tahap ilmiah. Nama yang diberikan tatkala itu pada ilmu yang baru tersebut pada tahun 1839 adalah “Sosiology” yang berasal dari bahasa Latin socius yang berarti “kawan” dan bahasa Yunani logos yang berarti “kata” atau “berbicara”. Jadi Sosiologi berarti “berbicara mengenai masyarakat”.
Perubahan yang terjadi akibat revolusi benar-benar mencengangkan. Struktur masyarakat yang sudah berlaku ratusan tahun rusak. Bangasawan dan kaum Rohaniwan yang semula bergemilang harta dan kekuasaan, disetarakan haknya dengan rakyat jelata. Raja yang semula berkuasa penuh, kini harus memimpin berdasarkan undang-undang yang di tetapkan. Banyak kerajaan-kerajaan besar di Eropa yang jatuh dan terpecah.
Revolusi Perancis berhasil mengubah struktur masyarakat feodal ke masyarakat yang bebas. Gejolak abad revolusi itu mulai menggugah para ilmuwan pada pemikiran bahwa perubahan masyarakat harus dapat dianalisis. Mereka telah menyakikan betapa perubahan masyarakat yang besar telah membawa banyak korban berupa perang, kemiskinan, pemberontakan dan kerusuhan. Bencana itu dapat dicegah sekiranya perubahan masyarakat sudah diantisipasi secara dini. Perubahan drastis yang terjadi semasa abad revolusi menguatkan pandangan betapa perlunya penjelasan rasional terhadap perubahan besar dalam masyarakat. Artinya :
• Perubahan masyarakat bukan merupakan nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan dapat diketahui penyebab dan akibatnya.
• Harus dicari metode ilmiah yang jelas agar dapat menjadi alat bantu untuk menjelaskan perubahan dalam masyarakat dengan bukti-bukti yang kuat serta masuk akal.
• Dengan metode ilmiah yang tepat (penelitian berulang kali, penjelasan yang teliti, dan perumusan teori berdasarkan pembuktian), perubahan masyarakat sudah dapat diantisipasi sebelumnya sehingga krisis sosial yang parah dapat dicegah.
Sosiologi modern tumbuh pesat di benua Amerika, tepatnya di Amerika Serikat dan Kanada. Mengapa bukan di Eropa? (yang notabene merupakan tempat dimana sosiologi muncul pertama kalinya).
Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, perubahan besar masyarakat pun tak terelakkan.
Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.
Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi.
Keadaaan semacam itu tidak sekedar melanda dalam sosilogi sebab sampai menjelang pertengahan abad ke-19 hampir semua ilmu pengetahuan yang dikenal sekarang ini pernah menjadi bagian dari filsafat dunia barat yang berperan sebagai induk dari ilmu pengetahuan. Pada waktu itu, filsafat mencakup segala usaha-usah pemikiran mengenai masyarakat. Lama-kelamaan, dengan perkembanmgan jaman dan tumbuhnya peradapan manusia, berbagai ilmu pengetahuan yang semula tergabung dalam filsafat memiskinkan diri dan berkembang mengejar tujuan masing-masing. Astronomi (ilmu tentang perbintangan), dan fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang filsafat yang paling awal memisahkan diri, kemudian diikuti oleh ilmu kimia, biologi, dan geologi. Pada abad ke-19 kemudian muncul dua imu pengetahuan baru, yaitu sosiologi dan psikologi. Begitu juga Astronomi yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat yang bernamakan kosmologi, sedangkan alamiah menjadi fisika, filsafat kejiwaan menjadi psikologi, dan filsafat social menjadi sosiologi.
Kata atau istilah ”sosiologi” pertama-tama muncul dalam salah satu jilid karya tulis Auguste Comte (1978 – 1857) yaitu di dalam tulisannya yang berjudul ”Cours de philosophie Positive.” Oleh Comte, istilah sosiologi tersebut disarankan sebagai nama dari suatu disiplin yang mempelajari ”masyarakat” secara ilmiah. Dalam hubungan ini, ia begitu yakin bahwa dunia sosial juga ”berjalan mengikuti hukum-hukum tertentu” sebagaimana halnya dunia fisik atau dunia alam.
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memfokuskan kajiannya pada relasi dalam masyarakat. Ilmu ini lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan (Science). Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangannya sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan lain yang telah berkembangan lebih dahulu. Istilah sosiologi pertama kali muncul dan digunakan oleh Auguste Comte (1798-1857) untuk memberi nama suatu disiplin ilmu yang mempelajari masyarakat. Kemudian pemikiran tersebut dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer (1982-1903) dan Emile Durkheim (1858-1917).
Thomas Hobbes (1588-1697) dan Spinoza (1632-1677) memakai istilah “Fisika Sosial” di dalam menelaah realitas kehidupan sosial manusia. Menurutnya, kehidupan bersama pada dasarnya muncul (berasal) dari dorongan-dorongan aktif dalam diri manusia. Dorongan itu pada hakikatnya adalah mengarah kepada individualisme ekstrem di mana tiap orang adalah lawan orang lain. Akan tetapi, di lain pihak, harus diyakini bahwa terdapat dorongan lainnya, yaitu adanya pengaruh akal budi. Sifat asali akal budi ini berfungsi sebagai penyeimbang yang dapat membuat manusia mencari upaya untuk mencapai kesepakatan dan bentuk-bentuk hidup bersama berdasarkan atas kewajiban-kewajiban yang diakui bersama pula. Kemudian Montesquieu (1689-1755), yang melakukan telaah terhadap kehidupan masyarakat dari sudut pandang hidup bermasyarakat menurut segi hukum-hukum. Antara lain, dia mengajarkan bahwa: a. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat menyatakan dan membuktikan cara berpikir dan bertindak suatu bangsa pada umumnya. bentuk pemerintahannya berakar pada ciri-ciri itu; b. lembaga-lembaga sosial, khususnya pemerintah, menjadi akibat keharusan hukum tertentu yang tak terhindari; c. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat diisyaratkan oleh pelbagai faktor iklim, tanah, agama, dan lain-lain.
Atas dasar pengaruh pemikiran tersebut, maka sejak akhir abad ke-19 sosiologi mulai dikembangkan sebagai ilmu atau sains yang sejajar dengan ilmu-ilmu positif atau empirik lainnya. Orang yang mula-mula menyebut nama “Sosiologi” adalah Auguste Comte (1798-1857). Dahulu ia sendiri memakai nama “Fisika Sosial” dengan maksud untuk menegaskan bahwa ilmu masyarakat sebangsa dengan natural science. Walaupun dalam praktiknya dan karangan-karangannya Comte masih bersifat spekulatif dan deduktif. Oleh karena sifat yang demikian, ia ditentang oleh seorang sosiologi berkebangsaan Italia Vilfredo Pareto (1848-1923). Karya Pareto sendiri memang bersifat ilmiah-positif, tetapi untuk sebagian besar termasuk “Psikologi Sosial”.
Banyak sosiolog berpendapat bahwa sebetulnya Emile Dukheim (1857-1917) harus diberi gelar “Bapak Sosiolog”, sedangkan Auguste Comte berstatus sebagai Godfathernya. Maksudnya gagasan sosiologi sebagai ilmu positif berasal dari Comte, tetapi penerapan gagasan itu lebih lanjut dilakukan oleh Durkheim. Untuk pertama kali dalam bukunya yang berjudul “Bunuh diri” (Suicide), Durkheim memakai metode penelitian dan analisis yang kuantitatif, dan peralatan konseptual yang disusun ke dalam teori. Di samping itu, ia membentuk dan merintis juga sosiologi ilmiah dengan memakai riset yang historis dan kualitatif. Ia menggali baik masalah-masalah teori yang mendasari studi organisasi sosial manusia, maupun masalah-masalah metodelogi. Fenomena yang dipelajari sosiologi adalah “fakta sosial”. Kata “Fakta” berarti “kenyataan obyektif yang dapat diamati dan harus diolah sama seperti “fakta alam”. Durkheim membawa pandangannya ini dalam buku The Rules of Sociology Method (1895). Selama hidupnya ia tidak menduga bahwa di masa mendatang justru permasalahan metoda itu akan mengganggu dan menyibukkan sosiologi. Apakah betul bahwa status fenomena sosial sama dengan fenomena alam? Apakah perilaku sosial manusia dapat diterjemahkan ke dalam bahasa matematika (angka-angka) seperti halnya dengan kejadian-kejadian alam?
Apa yang dilakukan Durkheim tersebut bermula sejak abad ke-19, di mana Auguste Comte berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan-urutan tertentu berdasarkan logika dan bahwa setiap penelitian dilakukan melalui tahapan tertentu dan kemudian mencapai tahap akhir. Lebih lanjut, Comte juga berpendapat bahwa penelitian terhadap masyarakat adalah suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri.
2. Sejarah Perkembangan Sosiologi Pendidikan
Sejarah sosiologi pendidikan tidak terlepas dari situasi sosiologi dari zaman ke zaman. August Comte adalah seorang bapak sosiologi dunia yang menanamkan dasar-dasar sosiologi yang kuat. Beberapa buku sosiologi telah ditulisnya, dan yang paling terkenal adalah Positive Psychology. Dari beberapa buku yang telah ditulisnya berkaitan dengan pendekatan-pendekatan untuk mempelajari masyarakat. Setengah abad kemudian, sosiologi berkembang dengan cepat dalam abad 20, terutama di kawasan Perancis, Jerman, dan Amerika. Sosiologi sangat berpengaruh setelah dikembangkan oleh beberapa ahli diantaranya adalah, Karl Max (Jerman), Vil Fredo Pareto (Itali), Pitirin A. Sorotin (Rusia), Laster F. Word (USA).
Lester Frank Word (1841-1913) adalah salah seorang pelopor sosiologi di Amerika Serikat yang dianggap sebagai pencetus gagasan tentang lahirnya sosiologi pendidikan. Gagasan ini tersusun dalam karyanya Applied Sociology (sosiologi terapan) yang khusus mempelajari perubahan-perubahan masyarakat karena usaha manusia. Menurutnya, kekuatan dinamis dalam gejala sosial adalah perasaan yang terdiri dari beberapa keinginan dan beberapa kepentingan. Perasaan merupakan kekuatan individu karena interaksi, kemudian berubah menjadi kekuatan sosial. Dari kekuatan sosial tersebut mempunyai kekuatan untuk menggerakkan kecakapan-kecakapan manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Gagasan Lester Frank Word tersebut dikembangkan oleh John Dewey(1859-1852) sebagai ahli pendidikan dan sekaligus pelopor sosiologi pendidikan. Dalam karya termasyhurnya yang berjudul Schol and Society yang terbit pada tahun 1899, menekan sekolah sebagai institusi sosial. Ia memandang bahwa hubungan antara lembaaga pendidikan dan masyarakat sangat penting. Dewey meneliti tentang kehidupan anak-anak kota yang tampak acuh dan buta terhadap produk yang dimanfaatkan setiap hari, seperti pakaian, gas, peralatan rumah tangga, dan sebagainya, mereka hanya tinggal memakai tanpa tahu bagaimana cara membuatnya. Kondisi yang seperti ini dapat diperbaiki melalui dengan jembatan lembaga pendidikan.
Salah seorang tokoh penting dalam khazanah perkembangan sosiologi pendidikan adalah Emile Durkheim (1858-1917) terutama pandangannya terhadap pendidikan sebagai suatu social thing (ikhtisar sosial). Atas dasar pandangan ini beliau mengatakan bahwa “pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi bermacam-macam. Keragaman bentuk dimaksud sebenarnya mengikuti banyaknya perbedaan lingkungan di masyarakat sendiri”.
Dalam perkembangan selanjutnya, Menheim sebagai sosiolog yang memasuki dan menekuni dunia pendidikan, memandang bahwa pendidikan adalah sebagai salah satu elemen dinamis dalam sosiologi. Ia nyatakan dalam statemennya yang menyebutkan bahwa “ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya.
Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap perkembangannya sangat beragam. Keadaan dan peran pendidikan pada masyarakat praindustri jauh berbeda dengan masyarakat modern dewasa ini. Bila pendidikan pada masyarakat praindustri menempatkan orang pada status sosial tertentu, pendidikan pada masyarakat maju justru merupakan alat untuk mobilitas sosial vertikal. Menurut Menheim penggunaan pendekatan sosiologis terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, tidak saja dapat membawa nilai positif di dalam perumusan tujuan pendidikan, akan tetapi dapat pula membantu pada pengembangan konten dan metodologi.
Dalam perkembangan selanjudnya, mulai tahun 1938-1947 sosiologi pendidikan mengalami kemandegan. Faktor penyebabnya adalah sosiologi pendidikan yang digantikan oleh kuliah-kuliah dalam sosiologi. Dengan alasan bahwa bagi pendidikan guru lebih berguna bila diberi sosiologi dari pada diberi kuliah khusus mengenai sosiologi pendidikan. Pada masa-masa stagnan ini, yang dapat dilakukan hanya review of educational research pada tahun 1940.
Untuk membangkitkan kembali sosiologi pendidikan, maka pada tahun 1943 sampai dengan 1945, Institut sosiologi di London menyelenggarakan konferensi-konferensi tentang sosiologi dan pendidikan. Berkat konferensi tersebut, pada tahun-tahun berikutnya muncul begitu banyak buku pendidikan yang diwarnai sudut pandang sosiologi. Clarke menerbitkan buku berjudul Freedom in the Educative Sociology pada tahun 1948. Kemudian pada tahun 1950 WAC. Steward menulis artikel penting yang dimuat pada Sociological Review, dengan judul Philosophy and Sociology in The Training of Teacher, dimana artikel ini dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan kurikulum pendidikan guru.Dalam artikelnya, steward menggunakan istilah-istilah yang biasa digunakan untuk sosiologi pendidikan, seperti sociological approach to education, educational sociology, dan sociology of education.
Pada tahun 1960 sosiologi mendapat perhatian yang luar biasa. Para mahasiswa melimpah ruah, perekonomian melaju naik, dan pembaharuan dapat diraih melalui proses politik yang ada. Pada tahun 1965 partai buruh di Inggris mempercepat proses peralihan yang lamban ini ke arah pendidikan yang lebih komprehensif dalam rangka untuk menghilangkan ketidaksamaan kesempatan.
Sosiologi pendidikan dikuliahkan pertama kali oleh Henry Suzzalo tahun 1910 di Teacher College, Universitas Columbia. Tetapi baru tahun 1917 terbit texbook sosiologi pendidikan yang pertama kali karya Walter R. Smith dengan judul “Introduction to Educational Sosiologi”. Pada tahun 1916 di Universitas New York dan Columbia didirikan Jurusan Sosiologi Pendidikan. Himpunan untuk studi sosiologi pendidikan dibentuk pada konggres Himpunan Sosiologi Amerika dalam tahun 1923. sejak tahun itu diterbitkan buku tahunan sosiologi pendidikan. Pada tahun 1928 terbitlah The Journal of Educational Sosiology di bawah pimpinan E. George Payne. Majalah Sosial Education mulai terbit dalam tahun 1936. sejak tahun 1940 dalam Review of Educational Research dimuat pula artikel-artikel yang mempunyai hubungan dengan sosiologi pendidikan.
Selama 40 tahun perkembangan sosiologi pendidikan berjalan lambat, tapi kokoh dan pasti. Semula hanya buku “Educational Sosiology” yang menjadi “Sosiology of Education”. Kemudian sejumlah buku sosiologi pendidikan yang ditulis bermunculan, seperti “An Introduction to Education Sosiology”, “Foundation of Education Sosiology”, “Sosiology of Teaching”, “The Teacher and Society”. Perkembangan sosiologi pendidikan di Inggris, ketika diangkatnya Clarke sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Kependidikan di London. Dia sangat yakin bahwa konstribusi sosiologi kepada pendidikan sangatlah besar. Dan kemdian ia menegaskan bahwa titik pijak sosiologi supaya diaplikasikan dalam dunia pendidikan.
Vembriarto menegaskan bahwa sosiologi pendidikan sebagai salah satu cabang dari sosiologi khusus dapat diartikan sebagai sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental yang memusatkan perhatian pada penyelidikan daerah yang saling dilingkupi antara sosiologi dengan ilmu pendidikan. Tugas dari sosiologi pendidikan adalah melakukan penelitian dalam bidang pendidikan, terutama dalam kaitan dengan struktur dan dinamika proses pendidikan. Pengertian struktur adalah teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian, dan interelasinya dengan tata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika adalah proses sosio dan kultural, proses perkembangan kepribadian dalam hubungannya dengan proses pendidikan.
Menurut pendapat Drs. Ary H. Gunawan, bahwa sejarah sosiologi pendidikan terdiri dari 4 fase, yaitu:
a. Fase pertama, dimana sosiologi sebagai bagian dari pandangan tentang kehidupan bersama filsafat umum. Pada fase ini sosiologi merupakan cabang filsafat, maka namanya adalah filsafat sosial.
b. Dalam fase kedua ini, timbul keinginan-keinginan untuk membangun susunan ilmu berdasarkan pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa nyata (empiris). Jadi pada fase ini mulai adanya keinginan memisahkan diri antara filsafat dengan sosial.
c. Sosiologi pada fase ketiga ini, merupakan fase awal dari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Orang mengatakan bahwa Comte adalah “bapak sosiologi”, karena ialah yang pertama kali mempergunakan istilah sosiologi dalam pembahasan tentang masyarakat. Sedangkan Saint Simon dianggap sebagai “perintis jalan” bagi sosiologi. Ia bermaksud membentuk ilmu yang disebut “Psycho-Politique”. Dengan ilmu tersebut Saint Simon dan juga Comte mengambil rumusan dari Turgot (1726-1781) sebagai orang yang berjasa terhadap sosiologi, sehingga sosiologi menjadi tumbuh sendiri.
d. Pada fase yang keempat ini, ciri utamanya adalah keinginan untuk bersama-sama memberikan batas yang tegas tentang obyek sosiologi, sekaligus memberikan pengertian-pengertian dan metode-metode sosiologi yang khusus. Pelopor sosiologi yang otonom dalam metodenya ini berada pada akhir abad 18 dan awal 19 antara lain adalah Fiche, Novalis, Adam Muller, Hegel, dan lain-lain.

3. Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam
Sejarah Pendidikan Islam pada masa Rasulullah periode Mekkah, yakni Sejak Nabi diutus sebagai Rasul hingga hijrah ke Madinah-kurang lebih sejak tahun 611 M – 622 M atau selama 12 tahun tahun 5 bulan 21 hari, sistem pendidikan islam lebih bertumpu kepada Nabi. Bahkan tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan atau menentukan materi-materi pendidikan, selain Nabi.
Mahmud Yunus dalam Sejarah Pendidikan Islam, menyatakan bahwa pembinaan pendidikan islam pada masa Mekkah ini meliputi :
Pendidikan Keagamaan ,yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan mempersekutukanNya dengan berhala, karena Dia Tuhan yang Maha Besar dan Maha Pemurah, sebab itu hendaklah dienyahkan berhala itu sejauh-jauhnya.
Pola pendidikan yang dilakukan Rasulullah Sejalan dengan tahapan-tahapan dakwah yang disampaikan kepada kaum Quraisy. Dalam hal ini Kamaruzzaman di dalam buku Sejarah Pendidikan Islam membagi kepada 3 tahap :
a. Tahap pendidikan Islam secara Rahasia dan Perorangan
Pada awal turunnya wahyu pertama Al Quran surat Al Alaq ayat 1-5, Pola pendidikan yang dilakukan adalah sembunyi-sembunyi mengingat kondisi sosial-politik yang belum stabil, dimulai dari dirinya sendiri dan keluarga dekatnya. Mula-mula Rasulullah mendidik isterinya, Khadijah untuk beriman dan menerima petunjuk dari Allah, kemudian diikuti oleh anak angkatnya Ali ibn Abi Thalib ( anak pamannya ) dan Zaid ibn Haritsah ( seorang pembantu rumah tangganya yang kemudian diangkat menjadi anak angkatnya ). Kemudian sahabat karibya Abu Bakar Siddiq. Secara berangsur-angsur ajakan tersebut di sampaikan secara meluas, tetapi masih terbatas di kalangan keluarga dekat dari suku Quraisy.
b. Tahap pendidikan Islam secara terang-terangan
Perintah dakwah secara terang-terangan dilakukan oleh Rasulullah, seiring dengan jumlah sahabat yang semakin banyak dan untuk meningkatkan jangkau seruan dakwah, karena diyakini dengan dakwah tersebut banyak kaum Quraisy yang akan masuk agama islam.
c. Tahap pendidikan Islam untuk Umum
Rasulullah mengubah strategi dakwahnya dari seruan yang terfokus kepada keluarga dekat beralih kepada seruan umum, umat manusia secara keseluruhan. Seruan dalam skala “ internasional “ tersebut didasarkan kepada perintah Allah dalam surah Al Hijr ayat 94-95.
Materi pendidikan pada fase Mekkah yang diberikan oleh Rasulullah antara lain, yaitu :
Pendidikan Tauhid, Pelaksanaan atau praktek pendidikan tauhid tersebut diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya dengan cara yang sangat bijaksana yaitu dengan menuntun akal pikiran untuk mendapatkan dan meniru pengertian tauhid yang di ajarkan, dan sekaligus beliau memberikan teladan dan contoh bagaimana pelaksanaan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari secara kongkrit, kemudian beliau memerintahkan agar umatnya mencontoh praktek pelaksanaan tersebut sesuai dengan apa yang dicontohkanya. Berarti di sini Nabi Muhammad SAW telah mampu menyesuikan diri dengan pola kehidupan masyarakat jahiliah dengan mengajarkan ilmu tauhid secara baik dengan tanpa kekerasan.
Pendidikan Amal dan Ibadah, Pada awalnya Nabi sholatnya bersama sahabat-sahabatnya secara sembunyi-sembunyi. Namun setelah Umar ibn Khattab masuk islam beliau melakukannya secara terang-terangan. Pada mulanya sholat itu belum dilakukan sebanyak lima kali sehari semalam kemudian setelah Nabi Isra’ dan Mi’raj barulah diwajibkan untuk sholat lima waktu. Adapun zakat semasa di Mekkah diberikan kepada fakir miskin dan anak-anak yatim serta membelanjakan
Pendidikan Akhlaq, Diantara akhlaq yang baik yang dianjurkan Nabi masa di Mekkah, yaitu sebagai berikut : 1) Adil yang mutlak, meskipun terhadap keluarga atau diri sendiri 2) Pemaaf 3) Menepati janji, tepat pada waktunya. 4) Takut kepada Allah semata dan tiada takut kepada berhala 5) Berbuat kebaikan kepada kedua orangtua, dan sebagainya.
Pada fase Mekkah materi pengajaran Al Quran yang diberikan hanya berkisar pada ayat-ayat Al Quran pada surah-surah yang diturunkan ketika Nabi sebelum Hijrah ke Madinah. Surah yang diturun di Mekkah inilah yang kemudian dikenal dengan nama surah Makkiyah.
Pendidikan Islam adalah rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sesuai dengan nilai-nilai islam, sehingga terjadilah perubahan pribadinya sebagai makhluk individual, sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitar dimana ia hidup.
Penulis Kamaruzzaman dalam buku Sejarah Pendidikan Islam, menyebutkan ada dua tempat yang menjadi lembaga pendidikan Islam pada fase Mekkah, yaitu :
- Rumah Arqam ibn Arqam merupakan tempat pertama berkumpulnya kaum muslimin beserta Rasulullah untuk belajar hukum – hukum dan dasar-dasar ajaran Islam. Rumah ini merupakan lembaga pendidikan pertama atau madrasah yang pertama sekali dalam islam, adapun yang mengajar dalam lembaga tersebut adalah Rasulullah sendiri.
- Kuttab, Pendidikan di Kuttab pada awalnya lebih terfokus pada materi baca tulis sastra, syair Arab, dan pembelajaran berhitung namun setelah datang Islam materinya ditambah dengan materi baca tulis Al Quran dan memahami hukum-hukum Islam.

4. Sejarah Perkembangan Sosiologi Pendidikan di Indonesia
Sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).
Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM . Beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang beberapa pengertian elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai Filsafat. Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk Masyarakat Indonesia yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi yang modern.
Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden di Belanda. Beliau juga menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit pada tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun 1962. Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi terbit tahun 1964.
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.
Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Sosiologi, suatu pengantar, Sri Paku Buwono IV dari Surakarta (Solo) dapat dikatakan telah membicarakan Sosiologi dalam karyanya”Wulang Reh”, walaupun sosiologi sebagai ilmu belum dikenal secara formal. Ki Hajar Dewantara juga telah memberikan sumbangannya kepada sosiologi dengan konsep kepemimpinan, pendidikan, serta kekeluargaan di Indonesia, dan kini menjadi inti dari kepemimpinan Pancasila, yaitu”Ing ngarsasung tukladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”.
Setelah Perang Dunia II, Mr. Djody Gondokoesoema telah menerbitkan buku Sosiolagi Indonesia. Kemudian Hasan Shadily dengan bukunya Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia telah memuat bahan-bahan sosiologi modern. Juga Mayor Polak dengan bukunya (disertasi) Social Change In Yogyakarta (1962) merupakan sebuah karya ilmiah yanmg memaparkan tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat Yogyakarta sebagai akibat revolusi politik dan sosial pada waktu pusat revolusi masih berada di Yogyakarta.
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dengan bukunya bejudul Setangkai Bunga Sosiologi (1964), adalah sebuah buku yang merupakan himpunan berbagai cuplikan dari buku-buku teks ringkas dalam bahasa Indonesia, dan merupakan literatur wajib untuk kuliah pengantar sosiologi pada berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Selanjutnya masih banyak buku-buku sosiologi dalam bahsa Indonesia yang bermunculan menghiasi dan menngisi kependidikan kita.
Perkembangan sosiologi pendidikan di Indonesia baru pada tahun 1967, sosiologi pendidikan diberikan pertama kali di IKIP Negeri Yogyakarta Jurusan Didaktik Kurikulum. Ditinjau dari usianya, lapangan penelitiannya serta struktur dan prosesnya, sosiologi pendidikan merupakan disiplin yang masih sangat muda. Namun demikian, ilmu ini makin lama makin berkembang menuju kepada statusnya yang lebih pasti dan memiliki lapangan penelitian khusus.

Perkembangan Peserta Didik

A. Perkembangan Peserta Didik
Perkembangan mengacu pada bagaimana seorang tumbuh, beradaptasi, dan berubah disepanjang perjalanan hidupnya. Orang tumbuh, beradaptasi, dan berubah melalui perkembangan fisik, perkembangan kepribadian, perkembangan sosioemosional (sosial dan emosi), perkembangan kognitif (berpikir), dan perkembangan manusia menurut teori Piaget (kognitif dan moral) serta teori perkembangan kognitif menurut Lev Vygotsky.

Berikut ini kita membahas perkembangan peserta didik, antara lain:
1. Perkembangan Fisik Peserta Didik
Peserta didik (anak-anak) bukan miniatur dari orang dewasa. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda, mereka melihat dunia dengan cara yang berbeda, dan mereka hidup dengan prinsip-prinsip moral dan etika yang berbeda dengan apa yang dipikir/dianut oleh orang dewasa.
Peserta didik di SD berada dalam periode peralihan dari pertumbuhan cepat masa anak-anak ke suatu fase perkembangan yang lebih lambat. Ukuran tubuh anak relatif kecil perubahannya selama tahun-tahun di SD. Pada usia 9 tahun tinggi dan berat badan anak laki-laki dan perempuan kurang lebih sama.
Pada akhir kelas empat, pada umumnya anak perempuan mulai mengalami lonjakan pertumbuhan. Lengan dan kaki mulai tumbuh cepat. Pada akhir kelas lima, umumnya anak perempuan lebih tinggi, lebih berat dan lebih kuat dari pada anak laki-laki. Anak laki-laki memulai lonjakan pertumbuhan pada usia sekitar 11 tahun. Pada awal kelas enam anak perempuan mendekati puncak tertinggi pertumbuhan. Pubertas pada anak perempuan ditandai dengan menstruasi, umumnya dimulai pada usia 12-14 tahun. Sedang anak laki-laki memasuki masa pubertas dengan ejakulasi terjadi pada usia sekitar 13 -16 tahun.
Perkembangan fisik selama masa remaja dimulai dari masa pubertas. Pada masa ini terjadi perubahan fisiologis yang mengubah manusia yang belum mampu bereproduksi menjadi mampu bereproduksi. Hampir setiap organ atau sistem tubuh dipengaruhi oleh perubahan-perubahan ini. Meskipun urutan kejadian pubertas itu sama untuk tiap orang, namun waktu dan kecepatan berlangsungnya kejadian itu bervariasi. Anak perempuan memulai perubahan pubertas 1,5 hingga 2 tahun lebih cepat dari anak laki-laki. Kecepatan perubahan itu juga bervariasi, ada yang perlu waktu 1,5 hingga 2 tahun untuk mencapai kematangan reproduksi, tetapi ada yang memerlukan waktu 6 tahun.
2. Perkembangan Sosioemosional Peserta Didik
Anak-anak menjelang masuk SD, telah mengembangkan keterampilan berpikir, bertindak, dan pengaruh sosial yang lebih komplek. Anak-anak pada usia sekitar ini, pada dasarnya egosentris dan dunia mereka adalah rumah, keluarga, dan sekolah.
Selama duduk di kelas rendah SD, anak mulai percaya diri tetapi juga sering rendah diri. Pada tahap ini mereka mulai mencoba membuktikan bahwa mereka dewasa. Mereka merasa “ saya dapat mengerjakan sendiri tugas itu”.
Konsentrasi anak mulai tumbuh pada kelas-kelas tinggi SD. Mereka dapat lebih banyak meluangkan waktu untuk tugas-tugas pilihan mereka, dan sering kali mereka dengan senang hati menyelesaikannya. Pada tahap ini terjadi tumbuhnya tindakan mandiri, kerja sama dengan kelompok, dan bertindak menurut cara-cara yang dapat diterima lingkungan. Mereka juga peduli terhadap permainan yang jujur.
Selama masa ini anak mulai menilai diri sendiri dengan membandingkannya terhadap orang lain. Anak-anak lebih mudah menggunakan perbandingan sosial (social comparison) terutama untuk norma-norma sosial yang sesuai dengan jenis tingkah laku mereka.
Sebagai akibat dari perubahan struktur fisik dan kognitif, anak pada kelas tinggi SD berupaya untuk tampak lebih dewasa. Mereka ingin diperlakukan sebagai orang dewasa. Pada masa ini tampak perubahan-perubahan yang berarti dalam kehidupan sosial dan emosional mereka. Di kelas tinggi SD anak laki-laki dan perempuan menganggap keikutsertaan dalam kelompok menumbuhkan perasaan bahwa dirinya berharga. Teman-teman mereka menjadi lebih penting dari pada sebelumnya. Mereka menyatakan kesetiakawanan dengan anggota kelompok teman sebaya melalui pakian atau prilaku.
Hubungan antara anak dan guru sering berubah. Di awal-awal tahun kelas tinggi SD, hubungan ini menjadi lebih komplek. Ada siswa yang menceritakan informasi pribadi kepada guru, tetapi tidak menceritakan kepada orang tuanya. Beberapa anak pra remaja memilih guru mereka sebagai model. Sementara itu ada anak membantah guru dengan cara-cara yang tidak dibayangkan seperti sebelumnya. Bahkan beberapa anak secara terbuka menentang gurunya.
Salah satu tanda mulai munculnya perkembangan indentitas diri anak remaja adalah reflektivitas, yaitu kecendrungan untuk berpikir tentang apa yang sedang berkecamuk dalam benak mereka dan mengkaji diri sendiri. Anak remaja mulai meyakini bahwa ada perbedaan antara apa yang dipikirkan dan rasakan sebagaimana mereka berprilaku. Mereka mengkritik sifat pribadi mereka, membandingkan diri mereka dengan orang lain, dan mencoba untuk mengubah pribadinya. Remaja menjadi lebih sadar atas keunikan mereka dan perbedaannya dibandingkan dengan orang lain. Mereka belajar bahwa orang lain tidak dapat mengetahui apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Isu perkembangan kepribadian yang dominan pada remaja adalah “siapa dan apa sebenarnya diriku”. Inilah kepedulian utama remaja terhadap indentitas dirinya. Remaja mencapai indentitas dirinya pada usia 18 tahun sampai 22 tahun.
3. Perkembangan Intelektual Peserta Didik
Banyak ahli psikologi dan ahli pendidikan telah melakukan penelitian tentang perkembangan intelektual atau perkembangan kognitif atau perkembangan mental anak. Berikut ini kita akan membahas teori-teori perkembangan intelektual/kognitif peserta didik menurut Jean Piaget dan Lev Vygotsky.
1. Teori Jean Piaget
Jean Piaget lahir di Swiss pada tahun 1896, seorang ahli psikologi anak.
Teori Piaget dalam Mohamad Nur (2004: 9-13) tentang perkembangan kognitif anak, dapat dipahami dari sudut mengapa dan bagaimana kemampuan-kemampuan mental (pikiran) berubah dari waktu ke waktu. Penjelasannya tentang perubahan perkembangan mengasumsikan bahwa anak merupakan suatu organisme (makluk hidup) yang aktif. Selanjutnya Piaget mengatakan bahwa perkembangan sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan.
Pola prilaku atau berpikir yang digunakan anak-anak dan orang dewasa dalam menangani objek-objek yang ada di dunia disebut skema. Skema digunakan untuk memecahkan masalah dan bertindak di dunia. Tiap-tiap skema memperlakukan seluruh objek atau kejadian dengan cara yang sama. Sebagai contoh, bayi pada umumnya akan menemukan satu hal yang dilakukan pada benda adalah membanting-bantingkannya. Bayi juga mempelajari objek-objek dengan menggigit, mengenyut, dan melempar-lemparkannya. Tiap-tiap pendekatan dalam berinteraksi dengan objek-objek, disebut skema.
Hasil penelitian Piaget, tentang perkembangan kognitif anak/peserta didik selain skema, anak juga selalu adaptasi dengan lingkungan. Adaptasi adalah proses penyesuai skema dalam merespon pada lingkungan melalui asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses memahami objek atau kejadian baru dipandang dari skema yang sudah ada. Contoh, jika bayi diberikan sebuah objek yang belum pernah ia lihat, namun mirip dengan objek yang pernah dikenal maka dengan skema yang ada bayi akan meraih objek itu, menggigit dan memukul-mukulnya. Begitupun hal yang sama terjadi pada seorang siswa SMA, ia telah memiliki skema yang tertata baik untuk belajar. Ia dapat menerapkan dan mengadaptasikan skema yang ada itu pada suatu jenis pelajaran baru, misalnya belajar mengemudikan mobil.
Kadang-kadang skema yang ada tidak dapat digunakan untuk menangani objek atau kejadian yang baru. Jika hal ini terjadi maka seorang anak dapat memodifikasi (melakukan perubahan) skema yang telah ada untuk disesuaikan dengan informasi atau pengalaman baru. Proses seperti ini disebut akomodasi. Misalnya seorang bayi diberi sebutir telur ayam, ia telah memiliki skema membanting, maka apa yang terjadi pada telur itu. Dari kejadian ini diharapkan bayi akan merubah skemanya, dimana pada masa akan datang bayi akan membanting beberapa objek dengan keras dan beberapa objek lain dipukuli dengan pelan. Atau seorang siswa SMP sudah punya skema: cahaya merambat ke segala arah secara garis lurus. Kemudian siswa ini memperoleh informasi baru tentang pembiasan dan difraksi cahaya, maka siswa harus melakukan akomodasi di dalam pikirannya tentang pembiasan dan difraksi cahaya.
Bayi yang mebanting telur dan siswa SMP, telah dihadapkan pada situasi yang tidak dapat sepenuhnya ditangani dengan skema yang ada. Keadaan ini menciptakan situasi ketidakseimbangan atau disequilibrium. Secara alamiah anak/orang akan mengurangi ketidakseimbangan seperti itu dengan memusat kepada rangsangan yang menyebabkan ketidakseimbangan dan mengembangkan skema-skema baru atau mengadapatasi skema-skema lama sampai terjadi keseimbangan. Proses pengembalian keseimbangan itu, disebut ekuilibrasi. Menurut Piaget pembelajaran bergantung pada proses ini, dimana keseimbangan sudah terganggu, anak-anak memiliki kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang. Pada akhirnya secara kualitatif cara berpikir baru tentang dunia muncul dan anak-anak akan maju ke tahap perkembangan baru. Jadi menurut Piaget pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan sangat penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Perkembangan intelektual anak atau kemampuan kognitif terjadi melalui empat tahap yang berbeda. Tiap tahap disyarati dengan munculnya kemampuan-kemampuan dan cara-cara baru dalam memproses informasi
Tahap perkembangan intektual tiap anak, selalu mengikuti tahapan-tahapan yang ada, mulai dari sensorimotor, praoperasi, operasi konkrit, dan operasi formal. Irama perkembangan tiap tahap untuk tiap anak berbeda satu dengan yang lain. Interval umur tiap tahap perkembangan intelektual yang diacu Piaget, hanyalah sebagai pedoman umum. Berdasarkan perkembangan intelektual inilah, maka umur anak sekolah ditetapkan sebagai berikut: anak masuk TK minimal umur 4 tahun, anak masuk SD minimal berumur 6 tahun. Hal ini diprediksikan bahwa anak umur 6 tahun akan mampu mengikuti/mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru.
Hasil penelitian Piaget dalam Moh. Amin (1982: 46-52) diperoleh lima faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan intelektual/mental anak, yaitu:
a. Kematangan (Maturation)
Perkembangan sistem saraf sentral, otak, koordinasi motorik, dan proses perubahan fisiologis serta anatomis akan mempengaruhi perkembangan kognitif. Faktor kedewasaan atau kematangan ini memang berpengaruh pada perkembangan intelektual.
b. Pengalaman Fisik (Physical Experience)
Pengalaman fisik terjadi jika anak berinteraksi dengan lingkungan. Tindakan fisik ini memungkinkan anak untuk mengembangkan aktivitas dan gaya otak sehingga dapat mentransfer sesuatu dalam bentuk gagasan atau ide. Pengalaman fisik yang diperoleh anak, dapat dikembangkan menjadi matematika logika. Seperti kegiatan meraba, memegang, melihat, berkembang menjadi kegiatan berbicara, membaca, dan menghitung.
c. Pengalaman Sosial (Social Experience)
Pengalaman sosial diperoleh anak melalui interaksi sosial dalam bentuk pertukaran pendapat dengan orang lain, seperti percakapan dengan teman, perintah atasan, membaca dan sebagainya. Dengan berinteraksi kepada orang lain lambat laun sifat egosentrisnya berkurang. Melalui kegiatan diskusi anak akan memperoleh pengalaman mental. Dengan pengalaman mental memungkinkan otak bekerja dan mengembangkan cara baru untuk memecahkan persoalan. Di samping itu pengalaman sosial dapat dijadikan sebagai landasan untuk mengembangkan konsep-konsep mental seperti kerendahan hati, kejujuran, etika, moral, dan sebagainya.
d. Keseimbangan (Equilibration)
Keseimbangan merupakan suatu proses untuk mencapai tingkat fungsi kognitif yang semakin tinggi. Keseimbangan dapat dicapai melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi menyangkut pemasukan informasi dari lingkungan dan menggabungkannya dalam bagan konsep struktur (skema) yang ada pada otak anak. Akomodasi menyangkut modifikasi bagan konsep (skema) untuk merima bahan atau informasi baru.
Suatu stimulus dapat mengganggu keseimbangan, tetapi dengan respon dia dapat mengembalikan diri pada keseimbangan. Sebagai hasil adapatasi dengan lingkungan, individu secara progresif menunjukan interaksi dengan lingkungan secara lebih rasional.
2. Teori Vygotsky
Lev Semionovich Vygotsky adalah seorang ahli psikiologi Rusia. Teori Vygotsky sekarang merupakan kekuatan yang amat besar dalam psikologi perkembangan.
Teori Vygotsky dalam Mohamah Nur (2004: 44-49) didasarkan pada dua ide pokok , yaitu: pertama, bahwa perkembangan intelektual hanya dapat dipahami bila ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, bahwa perkembangan tergantung kepada sistem-sistem isyarat (sign system), dengan sistem-sistem isyarat itulah individu-individu tumbuh.
Teori Piaget, mengatakan perkembangan mendahului pembelajaran, sedangkan teori Vygotsky, pembelajaran mendahului perkembangan. Pembelajaran melibatkan perolehan isyarat melalui pengajaran dan informasi dari orang lain. Pekembangan termasuk internalisasi atau penyerapan isyarat-isyarat sehingga anak dapat berpikir dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Internalisasi ini disebut pengaturan diri (self regulation).
Dalam hal melaksanakan internalisasi, seorang anak menempuh langkah-langkah berikut: pertama pengembangan pengaturan diri dan pemikiran sendiri adalah mempelajari sesuatu hal yang memiliki makna. Kedua, dalam pengembangan struktur-struktur internal dan pengaturan diri melibatkan latihan. Ketiga, penggunaan isyarat dan memecahkan masalah-masalah tanpa bantuan orang lain. Pada titik ini anak-anak menjadi mandiri atau mampu mengatur diri sendiri, dan sistem isyarat itu telah merasuk ke dalam diri mereka.
Suatu mekanisme yang ditekankan Vygotsky untuk mengalihkan pengetahuan milik bersama menjadi pengetahuan pribadi adalah bercakap-cakap sendiri (private speech) atau berguman. Berguman biasa dilakukan pada anaka-anak kecil yang sering bercakap-cakap pada diri sendiri apabila dihadapkan pada tugas-tugas sulit. Anak yang menggunakan percakapan sendiri secara ekstensif untuk mempelajari tugas-tugas komplek secara lebih efektif dibandingkan dengan anak-anak lain.
Ide pokok lain yang diturunkan dari gagasan pembelajaran sosial Vygotsky adalah perancahan (scaffolding), yaitu bantuan yang diberikan oleh teman sebaya atau orang dewasa yang lebih kompeten. Anak diberikan dukungan selama belajar pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar setelah ia mampu melakukannya sendiri.

B. Implikasi Perkembangan Peserta Didik dalam Pembelajaran Sains Terpadu
Teori Piaget telah memberikan dampak yang besar pada teori dan praktek pendidikan. Teori-teori itu memusatkan perhatian pada pendidikan yang cocok dengan perkembangan, seperti pendidikan dengan lingkungan, kurikulum, materi, dan pengajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik ditinjau dari kemampuan-kemampuan kognitif dan fisik serta kebutuhan-kebutuhan sosial dan emosionalnya.
Pola berpikir siswa dapat dijadikan pegangan untuk perbaikan instruksional pendidikan yang memadai atau sebagai pedoman untuk merancang pembelajaran sains yang efektif, kreatif, dan menyenangkan. Kita tidak dapat memandang seluruh anak dalam suatu kelas yang sama akan mempunyai tingkat perkembangan mental yang sama. Tetapi masa transisi itu (lihat tabel 1.1) menjadi sangat penting untuk diketahui seorang guru dalam rangka pengelolaan pengajaran.
Dalam masalah interaksi pendidikan dengan perkembangan mental, Piaget dalam Depdiknas (2004: 12-13) mengatakan bahwa pendidikan harus dipandang sebagai suatu kondisi formatif yang diperlukan dan penting untuk menuju ke perkembangan mental anak secara alamiah. Anak sudah dapat berpikir secara sistematik, abstrak, dengan menggunakan logika matematik. Tetapi tiap individu kadar perkembangan mentalnya berbeda, seperti adanya perbedaan pengalaman dan faktor-faktor pemercepat perkembangan mental, khusunya faktor pengalaman sosial.
Sekolah sebagai salah satu bentuk pendidikan formal harus dapat bertindak sebagai lingkungan yang dapat memberikan dan menambah pengalaman sosial. Pengalaman mental memungkinkan otak berkerja mengembangkan persepsi dan kemampuan untuk memecahkan masalah.
Permasalahan bagi guru ialah bagaimana mengemas proses pembelajaran agar dapat memberikan pengalaman yang bermakna bagi siswa. Lingkungan belajar harus dirancang sedemikian rupa sehingga siswa diberi kesempatan untuk berlatih memecahkan masalah. Pemecahan masalah tersebut, dilakukan melalui kegiatan mental, sehingga peserta didik akan menemukan sendiri konsep maupun prinsip. Sementara itu guru bertindak sebagai fasilitator, membantu peserta didik dalam kegiatan penemuan.
Tahap perkembangan intelektual/kognitif anak SD, umumnya pada tahap operasional konkrit. Hal ini berarti bahwa pengajaran di kelas hendaknya sekonkrit mungkin dan sebanyak mungkin melibatkan pengalaman-pengalaman fisik anak. Dalam pembelajaran sains hendaknya melibatkan anak sepenuhnya. Karena kegiatan pembelajaran sains meliputi, penyentuhan, perakitan, pemanipulasian, percobaan, dan pengindraan. Artinya pembelajaran sains untuk peserta didik SD adalah alam sekitarnya dengan menggunakan pendekatan faktual.

Dalam belajar sains, ide dan pemikiran siswa sebelum pembelajaran sangat mempengaruhi proses pemebelajarannya. Ide yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran disebut kerangka berpikir alternatif dan prekonsepsi.
Prekonsepsi dipengaruhi oleh pengalaman langsung, pengalaman berpikir, pengalaman fisik, dan emosional melalui proses-proses sosial. Anak juga sudah berupaya keras memahami hal-hal yang ada di dunia sekitarnya. Prekonsepsi yang dibawa anak masing-masing tidak sama, ada yang sudah sesuai dengan kebenaran sains, tetapi ada yang tidak sesuai dengan kebenaran sains yang diajarkan di sekolah. Anak yang sudah mempunyai prekonsepsi yang sesuai dengan kebenaran sains yang diajarkan di sekolah, akan meras mudah menerima pelajaran tersebut tetapi jika sebaliknya maka dia akan kesulitan belajar. Disinilah bantuan guru sangat diperlukan agar peserta didik mencapai keseimbangan.
Proses pendidikan sains di Sekolah Menengah (SMP/MTs, SMA/STM/MA) diharapkan siswa mampu mencapai tingkat berpikir secara formal. Peserta didik sebelumnya telah memiliki konsep konkrit, namun melalui proses akomodasi terbentuklah konsep formal. Pola berpikir formal kadang-kadang menimbulkan kesulitan bagi sebagian siswa. Untuk menanggulangi kesulitan ini maka sebaiknya guru selalu memulai dari konsep konkrit, hingga akhirnya siswa dapat memahami konsep formal. Disinilah peranan adanya pengulangan materi, kegiatan demonstrasi atau percobaan, untuk menunjukkan konsep konkrit dan dijadikan titik acuan untuk penemuan konsep formal.
Peserta didik SMP/MTs (usia 12-15 tahun) yang merupakan masa transisi dari operasi konkrit ke operasi formal maka proses pembelajarana sains mengunakan pendekatan kontekstual sedangkan peserta didik SMA/STM/MA (usia 15 tahun ke atas) yang berpikir formal maka proses pembelajaran sains terpadu yang dapat dilaksanakan adalah dengan pendekatan konseptual, kontruktivisme, kontekstual, penemuan (discovery), inkuiri, keterampilan proses, pendekatan STM, dan lainnya.
Selain itu, Vygotsky dalam Mohamad Nur (2004: 49-50) mengatakan bahwa pendidikan/pembelajaran memiliki dua implikasi utama, yaitu: 1) mewujudkan tatanan pembelajaran kooperatif di antara kelompok-kelompok siswa dengan tingkat kemmpuan yang berbeda. Penuturan oleh teman sebaya yang lebih kompeten akan paling efektif dalam memperkembangkan pertumbuhan di dalam zona perkembangan terdeket. 2) pendekatan dalam pengajaran menekankan perancahan (scaffolding). Siswa semakin lama semakin mengambil tanggung jawab untuk pembelajarannya sendiri. Dalam (scaffolding) pendekatan yang dilakukan adalah “penemuan terbimbing” (assited discovery) di mana siswa menggunakan percakapan sendiri untuk berbicara pada diri sendiri dalam memecahkan suatu masalah.
Dengan memahami kedua teori di atas, maka guru sains hendaknya sebelum pembelajaran dimulai, sudah mempelajari bagaimana perkembangan fisik, perkembangan sosioemosional, dan perkembangan intelektual anak didiknya. Berdasarkan pemahaman itulah guru dalam merancang pembelajaran IPA terpadu harus memeperhatikan hal-hal berikut: karakteristik peserta didik, tujuan pembelajaran, materi pelajaran, pendekatan/metode pembelajaran, dan lingkungan belajar serta bagaimana mengevaluasi proses belajar dan hasil belajar siswa.

Teknologi Pendidikan

A. Pengertian Teknologi Pendidikan
Teknologi pendidikan memgang peran yang penting, terutama setelah berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, di mana komputer menjadi bagian integraldi dalamnya. Teknologi pendidikan dan berbagai alternatif pendidikannya untuk masa yang akan datang mendorong pengajar memanfaatkannya seoptimal mungkin penggunaan komputer tersebut di bidang pendidikan
Istilah teknologi berasal dari bahasa yunani yaitu technologia yang menurut Webster Dictionary berarti systematic treatment atau penanganan sesuatu secara sistematis, sedangkan techne sebagai dasar kata teknologi berarti art, skill, science atau keahlian, ketarampilan dan ilmu. Jadi teknologi pendidikan dapat diartikan sebagai pegangan atau pelaksanaan pendidikan secara sistematis. Teknologi merupakan merupakan bagian integral dalam setiap budaya. Makin maju suatu budaya, makin banyak dan makin canggih teknologi yang digunakan.
Teknologi pendidikan adalah media yang lahir dari revolusi teknologi komunikasi yang dapat digunakan untuk tujuan-tujuan pengajaran di samping guru buku dan papan tulis.teknologi pendidikan mensyaratkan prosedur, ide, peralatan dan organisasi yang dikaji secara sistematis logis dan ilmiah.
B. Fungsi dan Manfaat Teknologi Pendidikan
Dalam suatu proses belajar mengajar, dua unsur yang amat penting adalah metode mengajar dan media pengajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan, pemilihan salah satu metode mengajar tertentu akan mempengaruhi jenis media pengajaran yang sesuai, mekipun masih ada berbagai aspek lain yang harus diperhatikan dalam memilih media, antara lain tujuan pengajaran, jenis tugas dan respon yang diharapkan siswa kuasai setelah pengajran berlangsung, dan konteks pembelajran termasuk karakteristiksiswa. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi utama media pengajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru.
Menurut Levie & Lentz, fungsi media pengajaran, khusunya media visual, yaitu:
a. Fungsi atensi
Yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepad isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan teks materi pelajaran.
b. Fungsi afektif
yaitu gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa, misalnya informasi yang menyangkut sosiala atau ras.
c. Fungsi kognitif
Yaitu berfungsi untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal.
Peranan Teknologi dalam pendidikan sangat banyak diantaranya:
a. Teknologi sebagai ketrampilan (skill) dan kompetensi
Setiap pemangku kepentingan hrus memiliki kompetensi dan keahlian menggunakan teknologi pendidikan.
b. Teknologi sebagai Infrastrutur pembelajaran
Saat ini, bahan ajar banyak yang disimpan dalam format digital dengan model yang beragam seperti multimedia.
c. Teknologi sebagai sumber bahan belajar.
Ilmu pengetahuan berkembang sedemikian cepatnya, pengajar yang hebat akan selalu mengup-to-date perkembangan teknologi demi kemajuan pembelajarannya.
d. Teknologi sebagai alat bantu dan fasilitas pembelajaran
Penyampaian pengetahuan seharusnya mempertimbangkan konteks dunia nyatanya, pelajar dihrapkan melakukan eksplorasi terhadap pengetahuannya secara lebih bebas dan mandiri.
e. Teknologi sebagai pendukung manajemen pembelajaran
Setiap individu memerlukan duikungan pembelajaran tanpa henti setiap harinya. Kualitas layanan pada pengelolaan administrasi pendidikan ditingkatkan secara bertahap.
Manfaat teknologi pendidikan adalah sebagi berikut:
a. Media teknologi pendidikan membuat pendidikan lebih produktif
Teknologi memungknkan guru untuk memanfaatkan waktu secara efektif dan efisien, dapat menjauhkan hal-halyang sbenarnya tidak perlu, yang kurang menunjang, seperti tugas-tugas administratif transformasi informasi.
b. Media teknologi pendidikan menunjang pengajaran individual, atau dengan kata lain memungkinkanpenerapan individualisasi dalam kegiatan pengajaran. Teknologi pendidikan memungkinkan siswa untuk dapt meneukan arah diri menurut kemampuan yang dimilki.
c. Media teknologi pendidikan membuat kegiatan pengajaran lebih ilmiah.
Teknologi pendidikan memungkinkan guru dan siswa menciptakan rangkain kerja yang sesuai dengan tujuan belajar mengajar, memberi kemudahan kepada anak untuk mengetahui apa yang sebenarnya harus ia pahami.
d. Media teknologi pendidikan dapat membuat pengajaran lebih powerfull. Media pteknologi dapat menimbulkan suatu objek tak berwujud ke dalam relita, memberi kemantapan dan percepatan pemahaman siswa, menata waktu secara efektif, dan efisien, mereduksi ukuran-ukuran suatu objek atau menyederhanakan suatu peristiwa tertentu.
e. Media teknologi pendidikan dapat membuat kegiatan belajar mengajar lebih immediate. Teknologi pendidikan dilukiskan sebagai jembatan antara dunia luar dengan dunia dalam sekolah.
f. Media teknologi pendidikan dapat membuat percepatan pendidikan lebih equal. Equel acces untuk memperkaya kegiatan pendidikan yang tidak mungkin ada tanpa sumber-sumber teknologi.
Media teknologi pendidikan mendorong dan diharapkan memberi arah kepada guru untuk melihat perbuatan mengajar sebagai upaya memecahakan masalah secara ilmiah. Materi pelajaran disajikan dalam bentuk pemecahan masalah (problem solving), melalui langkah-langkah ilmiah, logis, dan sistematis. Sementara ada dua pandangan . Pertama, guru dipandang sebagai subjek sentral dan karenanya guru dianggap mengguli segalanya. Kedua,media teknologi pendidikan dianggap dapat memberi arti yang lebih besar dalam pencapian tujuan pendidikan, yaitu dengan jalan pengadaan media teknologi yang memadai, pencapaian tujuan pendidikan yang efektif dan efisien akan diwujudkan.
C. Aplikasi Teknologi Pendidikan
Apabila konsep atau pengertian teknologi pendidikan kita analisis, kita akan memperoleh pedoman umum aplikasi sebagai berikut :
1. Memadukan berbagai macam pendekatan dari bidang psikologi, komunikasi, manajemen, rekayasa, dan lain-lain secara bersistem.
2. Memecahkan masalah belajar pada manusia secara menyeluruh dan serempak, dengan memerhatikan dan mengkaji semua kondisi dan saling kaitan diantaranya.
3. Digunakannya teknologi sebagai proses dan produk untuk membantu memecahkan masalah belajar.
4. Timbulnya daya lipat atau efek sinergi, di mana penggabungan pendekatan dan atau unsur-unsur mempunyai nilai lebih dari sekadar penjumlahan. Demikian pula pemecahan secara menyeluruh dan serempak akan mempunyai nilai lebih daripada memecahkan masalah secara terpisah.
Teknologi pembelajaran memiliki lima kawasan yang menjadi bidang garapnya, baik sebagai objek formal maupun objek materinya, yaitu desain, pengembangan, pemanfaatan, pengolahan, evalusi sumber dan proses belajar. Oleh karenanya aplikasi teknologi pembelajaran juga tidak terlepas dari lima kawasan tersebut. Seels dan Richey (1994) menjelaskan bahwa demi menjaga keutuhan definisi (teknologi pembelajaran) kegiatan-kegiatan dalam setiap kawasan teknologi pembelajaran dapat dikaitkan baik kepada proses maupun sumber pembelajaran.
Masih menurut Seels dan Richey (1994), dalam Teknologi Pembelajaran praktik sangat berpengaruh terhadap evolusi bidang tersebut, bahkan lebih besar daripada teorinya. Mempraktikkan Teknologi pembelajaran akan berhadapan dengan elemen-elemen yang memudahkan atau menyulitkan praktik itu sendiri. Elemen-elemen tersebut yaitu:
1) Jenis materi pembelajaran;
2) Sifat atau karakteristik pembelajar;
3) Organisasi di mana pembelajaran berlangsung;
4) Kemampuan sarana yang tersedia;
5) Keahlian para praktisi.
Dimensi praktik teknologi pembelajaran sejalan dengan perkembangan teknologi. Pada tahun 30-an ketika komputer elektronik pertama berhasil diciptakan, teknologi pembelajaran berkembang pesat sejalan dengan teknologi tersebut. Teknologi ini melahirkan berbagai alat yang merubah dunia dalam berbagai aspeknya, mulai dari bom atom dalam mengakhiri Perang Dunia II hingga Internet sebagai jaringan informasi publik global yang mampu menghubungkan jutaan orang di seluruh penjuru dunia hanya melalui komputer yang terhubung dengan jaringan. Fenomena yang juga banyak disebut sebagai revolusi digital inilah yang mampu meyakinkan banyak orang bahwa peradaban.
Perlu diperhatikan dalam perkembangan pesat teknologi pembelajaran ini, salah satunya adalah praktik teknologi pembelajaran harus tetap memperhatikan kawasan dan memegang konsep utama yang membatasinya serta memanfaatkan dukungan dari berbagai ilmu lain yang relevan (Atwi Suparman dalam Budiningsih, 2000).9 Miarso (2004) menambahkan bahwa teknologi, termasuk teknologi pendidikan harus memililiki ciri:
1) Proses untuk meningkatkan nilai tambah (added values);
2) Menghasilkan dan memanfaatkan produk yang bervariasi dan semakin canggih;
3) Interaksi proses dan produk tersebut sebagai suatu sistem dengan lingkungannya sebagai suatu sistem yang lebih luas.
Aplikasi itu dapat berupa pelaksanaan fungsi pengembangan pendidikan / instruksional meliputi :
1. Pengakajian karakteristik dan kondisi SDM.
2. Pengkajian kemampuan SDM yang diharapkan.
3. Pengkajian kebutuhan pendidikan/latihan.
4. Perencanaan program pendidikan/latihan.
5. Pengembangan materi pendidikan/latihan.
6. Pembuatan media instruksional.
7. Penyusunan strategi instruksional.
8. Pemilihan dan penerapan teknik pembelajaran.
9. Penyebaran/penyajian pelajaran.
10. Penilaian program, proses, dan hasil pendidikan/latihan
Teknologi pendidikan merupakan suatu disiplin terapan, artinya ia berkembang karena adanya kebutuhan di lapangan, yaitu kebutuhan untuk belajar lebih efektif, lebih efesien, lebih banyak, lebih luas, lebih cepat, dan sebagainya. Untuk itu ada produk yang sengaja dibuat ada yang ditemukan dan di manfaatkan. Namun perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat pesat akhir- akhir ini dan menawarkan sejumlah kemungkinan yang semula tidak terbayangkan, telah membalik cara berpikir kita dengan “ bagaimana menganbil manfaat teknologi tersebut untuk mengatasi masalah belajar “.
Berkembangnya penerapan teknologi pendidikan boleh dikatakan berasal dari Amerika Serikat. Pada awal perkembangan sekitar ratusan tahun yang lalu teknologi itu dikenal sebagai cara mengajar dengan menggunakan alat peraga hasil buatan sendiri oleh guru di sekolah. Tiga puluh tahun kemudian (sekitar tahun 1930) penggunaan alat peraga itu berkembang dengan diproduksinya secara massal media belajar-pengajaran untuk digunakan disekolah secara meluas. Sepuluh tahun kemudian, saat Amereka Serikat terlibat dalam PD II, diperlukan banyak sekali tenaga terampil dalam mengoperasikan dan menangani peralatan perang. Untuk itu diperlukan latihan yang efektif dalam waktu yang pendek dan dapat diulang sesering mungkin. Dikembangkanlah cara pelatihan dengan menggunakan berbagai media dan simulator untuk keperluan pelatihan personel angkatn bersenjata tersebut. Mulailah dikenal istilah teknologi kinerja (performance technology).
Namun pendidikan dalam lingkungan sekolah ini lebih berorientasi teoritis dan mengganggap fungsinya adalah mempersiapkan peserta didik untuk masa depan yang siap latih. Padahal dengan semakin berkembangnya kegiatan social ekonomi diperlukan tenaga yang kompeten lebih banyak dan cepat. Hal ini memicu tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pelatihan dan kursus sebagai upaya pendidikan berkelanjutan yang bersifat terapan. Lembaga-lembaga ini ada yang berdiri sendiri, namun banyak yang merupakan bagian dari organisasi bisnis, industri dan public, serta organisasi pemerintah. Untuk mereka ini lebih tepat digunakan istilah “teknologi pembelajaran”, karena mereka lebih berkepentingan dalam membelajarkan orang dalam lingkungan kerja mereka sendiri atau pembelajaran untuk penguasaan suatu kompetensi tertentu.
Di Indonesia sendiri penerapan teknologi pembelajaran tidak jauh berbeda dengan perkembangan seperti halnya di amerika Serikat, hanya terpaut waktu yang cukup lama. Perkembangan itu boleh dikatakan baru dikenal sekitar awal tahun 1950, dengan didirikannya Balai Kursus Tertulis Pendidikan Guru (BKTPG) dan Balai Alat Peraga Pendidikan (BAPP) di Bandung. BKTPG yang sekarang menjadi Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis (P3G Tertulis) bertanggung jawab untuk menyelenggarakan penataran kualifikasi guru dengan bahan pelajaran tertulis dengan berpegangan pada konsep belajar mandiri. BAPP pada awal tahun 1970 diintegrasikan dengan Pusat Pengaembangan Penataran Guru bidang studi.
Beberapa bentuk penerapan teknologi pembelajaran secara menyeluruh, yaitu yang meliputi semua komponen dan karena itu merupakan system dapat dicontohkan sebagai berikut :
• Proyek percontohan system PAMONG (Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orang tua, dan Guru) di Kabupaten Karanganyar, Surakarta pada tahun 1974, dan disebarkan di Kabupaten Malang dan Gianyar pada tahun 1978.
• Pemasyarakatn P4 melalui permainan yang diujicobakan di Kabupaten Batu, Malang.
• Proyek Pendidikan Melalui Satelit (Rural Satellite Project) di Perguruan tinggi wilyah Indonesia bagian Timur (BKSPT INTIM).
• Program Pendidikan karakter melalui serial televise ACI (Aku Cinta Indonesia = Amit, Cici, Ito) = serial televise (pendidikan) pertama (dan terakhir).
• Program KEJAR Paket A dan B
• Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
• SLTP Terbuka
• Universitas Terbuka
• Sistem Belajar Jarak Jauh yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan.
• Jaringan system belajar jarak jauh (Indonesian Distance Learning Network = IDLN) dan SEAMOLEC 9SEAMEO Open Learning Center) yang berkedudukan di Pustekkom Diknas.

Terapi Ruqyah

1. Pengertian
Ruqyah adalah fenomena tersendiri. Hal pertama yang paling menyentak pikiran adalah nama "ruqyah" sendiri yang artinya secara harfiah adalah "mantera" atau "jampi-jampi". Masalahnya, sejak dulu saya tidak percaya pada mantera atau jampi-jampi, dan saya tidak pernah menganggapnya sebagai bagian dari Islam. Adapun doa, jelas berbeda dengan mantera.
Perbedaan mencolok dari makna "doa" dan "mantera" itu sendiri, menurut saya, terletak pada 'otoritas' yang menjamin keberhasilan doa dan mantera tersebut dan konsekuensi yang dihasilkannya. Jika kita menyebut kata "doa", maka jelas otoritas penentunya adalah Tuhan, dan konsekuensinya adalah kita tidak dapat memastikan hasil dari doa tersebut. Segala keputusan ada di tangan Allah SWT. Tidak ada yang bisa mengintervensi-Nya. Allah dapat menolak untuk mengabulkan doa manusia untuk berbagai alasan, dan tidak ada yang bisa mencegah-Nya. Inilah ajaran Islam. Adapun kata "mantera" memberi kesan bagaikan sebuah kata sandi, yang jika disebutkan maka pasti akan tercapai tujuannya. Justru kata mantera inilah yang lebih dekat kepada kesan sihir dan ilmu hitam.
1. Dasar-dasar Terapi Ruqyah
Dasar-dasar terapi ruqyah terdapat di dalam Al Qur’an maupun As Sunnah. Dasar-dasar tersebut antara lain:
Di dalam Surat Al Israa’ ayat 82 Allah berfirman:
Dan Kami turunkan Al-Qur’an menjadi obat penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian (S. Al-Israa’: 82).
Di dalam beberapa Hadis disebutkan:
Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Sebaik-baik pengobatan adalah (dengan) Al-Qur’an.” (H. R. Ibnu Majah).
Dari Abi Khuzamah, ia berkata: Aku berkata: Ya Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang melafazkan kata-kata doa untuk memohon kesembuhan (ruqyah), kami bacakan ruqyyah itu dan tentang obat yang kami pergunakan untuk mengobati penyakit serta tentang kata-kata doa untuk mohon perlindungan/pemeliharaan (taqiyyah), lalu kami bacakan taqiyyah itu? Tidaklah hal itu berarti menolak taqdir (ketentuan) Allah? Maka Nabi SAW menjawab: Hal itu juga termasuk taqdir Allah (H. R. Ahmad dan Turmudzi).
Dari Abi Dardaa’, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda: Barangsiapa di antara kamu mengadukan (kepada Allah) tentang sesuatu atau saudaranya yang mengadukan (kepada Allah) tentang sesuatu (penyakit), maka hendaklah dia mengucapkan (doa): Ya Tuhan kami, Allah yang berada di langit! Maha Suci nama-Mu. Perintah-Mu lah yang (berlaku) di langit dan bumi. Sebagaimana rahmat-Mu di langit, maka jadikanlah rahmat-Mu di bumi. Ampunilah dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami. Engkau-lah Tuhan seluruh orang-orang yang baik (sehat). Turunkanlah rahmat dan kesembuhan dari sisi-Mu terhadap penyakit ini. Maka penyakit akan sembuh dengan izin Alah (H.R. Abu Dawud).
Dari Abi Sa’id Al Khudri, ia berkata: Bahwasanya Jibril ‘Alaihis Salam datang kepada Nabi SAW, lalu berkata: ‘Ya Muhammad! Sakitkah engkau?’ Nabi berkata: ‘Ya.’ Maka Jibril AS. berkata: ‘Dengan nama Allah, aku mohonkan ruqyah untukmu dari setiap penyakit yang menimpamu dan juga
dari setiap jiwa maupun mata orang yang dengki. Allah akan menyembuhkan engkau. Dengan nama Allah, aku akan melakukan ruqyah untukmu.’ (H. R. Muslim).
2. Terapi Ruqyah jiwa
Menurut Ibnul Qayyim Al Jauziyah terapi ruqyah merupakan terapi dengan melafatkan doa baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah untuk menyembuhkan suatu penyakit (Agil, 1994: 41). Menurut Ibnul Qayyim Al Jauziyah terapi ruqyah tidak terbatas pada gangguan jin, tetapi juga mencakup terapi fisik dan gangguan jiwa.
Terapi ruqyah, menurut Ibnul Qayyim Al Jauziyah, merupakan salah satu metode penyembuhan yang digunakan oleh Rasulullah saw. Di samping metode ruqyah Rasulullah saw. juga menggunakan metode pembekaman, pemanasan, makanan, minuman, harum-haruman, lingkungan, dsb. (Agil, 1994: 2-22).
Terapi ruqyah ini secara syariat dibagai menjadi dua, yaitu Ruqyah Syar’iyyah dan Ruqyah Syirkiyyah. Ruqyah Syar’iyyah mempunyai tiga syarat. Pertama, menggunakan ayat-ayat Al Qur’an atau Hadis dengan tanpa mengubah susunan kalimatnya. Kedua, menggunakan bahasa Arab yang fasih, dibaca denagn jelas, sehingga tidak berubah dari makna aslinya. Ketiga, meyakini bahwa bacaan ayat-ayat Al Quran dan Hadis tersebut hanyalah merupakan sarana atau wasilah untuk penyembuhan, sedangkan yang menyembuhkan pada hakikatnya adalah Allah SWT sendiri. Oleh karena hendaklah memperbagus sarana tersebut sehingga dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Adapun Ruqyah yang Syirkiyyah adalah ruqyah dengan memohon bantuan kepada selain Allah atau memohon kepada Allah sekaligus juga memohon kepada yang lain. Bacaannya pun tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, meskipun kadang-kadang caranya mirip dengan ruqyah syar’iyyah (Bishri, 2005: 21-22). Misalnya Al Quran dibaca dari huruf yang terakhir (dibolak balik), atau membaca mantra-mantra dengan mengagungkan syetan atau jampi-jampi buatan seseorang dengan bahasa tertentu (Majalah Ghaib, No.3/Tahun 1/ 2003: 45).
3. Terapi Ruqyah untuk Penyakit Fisik
Ada beberapa contoh ruqyah untuk pengobatan fisik yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Misalnya ruqyah untuk menyembuhkan sengatan kalajengking. Sebagaimana disebutkan di dalam Hadis sbb:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syuaibah dalam Musnad-nya dari Hadis Abdullah bin Mas’ud , ia menceritakan:
Ketika Rasulullah SAW shalat, pada saat beliau berujud, tiba-tiba seekor kalajengking menyengat jari tangannya. Maka Rasulullah keluar dan berkata: Semoga Allah melaknat kalajengking. Kalajengking tidak membeda-bedakan antara seorang nabi dengan yang lainnya. Kemudian Rasulullah menyuruh diambilkan air dan garam, lalu bagian yang disengat kalajengking tersebut direndam dengan air garam itu sambil membaca Qul huwallahu ahad dan muawwidzatain sehingga rasa sakitnya reda.
Selanjutnya diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, dari Utsman bin Abil Ash diceritakan bahwa ia pernah datang menemui Rasulullah menceritakan sakit yang diseritanya di bagian tubuhnya semenjak ia masuk Islam. Maka Nabi SAW bersabda:
“Letakkanlah tanganmu di atas bagian tubuhmu yang sakit, lalu ucapkan bismillah tiga kali, dan ucapkanlah doa berikut sebanyak tujuh kali:
Ø£َعُÙˆْØ°ُ بِعِزَّØ©ِ اللهِ Ùˆَ Ù‚ُدْرَتِÙ‡ِ, Ù…ِÙ†ْ Ø´َرِّ Ù…َا Ø£َجِدُ ÙˆَØ£ُØ­َاذِرُ
“Aku berlindung dengan kemuliaan dan kekuasaan Allah dari keburukan apa yang kudapati dan kukhawatirkan akan terjadi.”
Menurut Ibnul Qayyim Al –Jauziyah terapi ruqyah ini mengandung beberapa hal, antara lain menyebut nama Allah, menyerahkan urusan kepada-Nya, memohon perlindungan dengan kemuliaan dan kekuasaan-Nya dari bahaya rasa sakit. Semua cara ini dapat menghilangkan rasa sakit, lalu diulang-ulang agar lebih manjur dan lebih mengena. Sama halnya dengan meminum obat yang juga harus berulangkali agar dapat mengeluarkan materi penyakit.
Bilangan tujuh kali itu mengandung keistimewaan (Abu Umar, 2005: 225-226).
Di dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Nabi SAW apabila menjenguk keluarganya yang sedang sakit,beliau mengusap tubuhnya dengan tangan kanan beliau sambil berkta:
Ya Allah, Rabb dari sekalian manusia! Lenyapkanlah rasa sakitnya, berikanlah kepadanya kesembuhan karena Engkau adalah Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan melainkan karena pertolongan-Mu; kesembuhan yang tidak diiringi dengan sakit lain.
Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyah ruqyah ini mengandung unsur tawassul kepada Allah melalui kesempurnaan rububiyah dan rahmat-Nya yang memberi kesembuhan. Karena memang Allah satu-satunya yang dapat memberikan kesembuhan. Sesungguhnya kesembuhan itu berasal dari-Nya. Oleh karena itu ruqyah ini sudah mengandung tawassul kepada Allah melalui tauhid, ihsan dan keyakinan terhadap Rububiyah Allah (Abu Umar, 2005: 225-226).
Terapi ruqyah dengan membaca ayat-ayat atau doa dari Al Qur’an dan As Sunnah telah banyak dipraktekkan dalam penyembuhan penyakit fisik. Di Indonesia misalnya dilakukan oleh Ustadz Haryono dengan membaca Al Fatihah dan ayat-ayat maupun do’a dari Al Qur’an dan As Sunnah. Kurang lebih sembilan juta pasien pernah ditanganinya (Damarhuda, 2005: 1-2, 52). Berdasarkan berbagai kesaksian, banyak dari pasiennya mengalami kemajuan dalam kesehatannya maupun memperoleh kesembuhan. Demikian juga beberapa Pondok Pesantren, Yayasan Islam, Kyai, Ustadz, dan banyak orang Islam secara individu maupun kelompok telah mempraktekkan ruqyah untuk penyakit fisik.
Secara medis terapi ruqyah dalam arti membacakan ayat-ayat atau doa-doa dari Al Qur’an maupun As Sunnah mempunyai pengaruh dalam penyembuhan fisik. Sebanding dengan terapi ruqyah, terapi doa telah diteliti keefektifannya dalam penyembuhan fisik.
Dr. Dossey, dokter lulusan Universitas di Texas, menjelaskan bahwa setelah ia mengumpulkan beberapa penelitian tentang terapi doa, dia menjelaskan bahwa ternyata doa dapat mengendalikan sel-sel kanker, sel-sel pemacu, sel-sel darah merah, enzim, bakteri, jamur, dan sebagainya (T. Hemaya, 1997: 171-172). Senada dengan Dr. Dossey, William G. Braud, direktur riset di Institute of Transpersonal Psychology di Palo Alto, melaporkan bahwa manusia mampu mempengaruhi secara mental dan dari jarak jauh, berbagai sasaran biologis misalnya bakteri, koloni ragi, motile algae (semacam tumbuhan), tanaman, protozoa, larva, woodlice (semacam kutu kayu), semut, anak ayam, tikus, kucing, anjing, juga preparat sel (sel darah, neuron, sel kanker) dan kegiatan enzim. Pada sasaran manusia, misalnya mempengaruhi gerakan mata, gerakan motorik, kegiatan elektrodermal, kegiatan pletismografik, pernafasan, dan irama otak (Saputra, 2003: 306). Hal ini menunjukkan bahwa doa atau kegiatan pikiran manusia dapat mempengaruhi makhluk, termasuk kesehatannya.
Selanjutnya Dr. Dadang Hawari menyatakan bahwa suatu studi terhadap 393 pasien jantung di San Fransisco menunjukkan bahwa kelompok pasien yang terapinya ditambah dengan terapi doa sedikit sekali yang mengalami komplikasi, sedang yang tidak menggunakan terapi doa banyak menimbulkan komplikasi dari penyakit jantungnya (Hawari, 1997: 8). Berikutnya dr. H. Tb. Erwin Kusuma Sp Kj, seorang spesialis kedokteran jiwa di klinik Prorevital, menyatakan bahwa air yang telah diberi doa akan berubah struktur molekunya dan dapat digunakan sebagai obat (Intisari, 2002: 61-64). Senada dengan pendapat dr. H. Tb.Erwin di atas, sebuah penelitiandi Jepang yang dilakukan oleh Dr. Emoto menunjukkan bahwa struktur molekul air akan berubah bila diberi kata-kata atau suara. Ia kemudian menjelaskan bahwa tubuh manusia kurang-lebih 70 persennya adalah air, maka akan ada perubahan bila diberi kata-kata, suara, atau doa (Bambang, 2006: 14-19). Perubahan struktur air di dalam tubuh ini mempengaruhi tingkat kesehatannya.
Beberapa penelitian tentang efek doa terhadap kesehatan di atas, secara tidak langsung, membuktikan bahwa terapi ruqyah, doa dari Al Qur’an dan As Sunnah, mempengaruhi terhadap penyembuhan sakit fisik.
4. Terapi Ruqyah untuk Gangguan Jiwa
Adapun terapi ruqyah untuk gangguan jiwa disebutkan di dalam beberapa hadis berikut:
Di dalam Sunan Abu Dawud dengan sanad yang shahih melalui Kharijah Ibnush Shilt, dari pamannya yang menceritakan:
Aku datang kepada Nabi saw. dan masuk Islam, kemudian aku pulang. Aku bertemu dengan suatu kaum, di antara mereka terdapat seorang laki-laki gila dalam keadaan diikat dengan belenggu besi. Lalu keluarganya berkata, “Sesungguhnya kami mendapat berita bahwa temanmu itu (Nabi saw.) telah datang dengan membawa kebaikan, apakah engkau punya sesuatu untuk mengobatinya?” Aku meruqyahnya dengan bacaan Fatihatul Kitab, ternyata ia sembuh, lalu mereka (keluarga si sakit) memberikan seratus ekor kambing. Aku datang kepada Nabi saw. dan menceritakan hal itu kepadanya, lalu beliau bersabda, “Apakah hanya ini (yang engkau ucapkan)?” Menurut riwayat yang lain disebutkan, “Apakah engkau mengucapkan selain itu?” Aku menjawab, “Tidak.” Beliau saw. bersabda, “Ambillah ternak itu. Demi umurku, sesungguhnya orang yang memakan dari hasil ruqyah batil (tidak boleh tetapi engkau memakan dari ruqyah yang benar.”
Selanjutnya disebutkan juga di dalam hadis riwayat Abu Dawud. Di dalam hadis tersebut Abu Dawud mengatakan bahwa dia mengetengahkannya melalui Kharijah, dari pamannya yang menceritakan:
Kami kembali (pulang) dari sisi Nabi saw., lalu kami sampai pada suatu kabilah orang Badui. Mereka berkata, “Apakah kalian memiliki obat penawar, karena sesungguhnya di kalangan kami ada seorang yang gila dibelenggu dengan rantai.” Lalu mereka mendatangkan orang gila tersebut dalam keadaan terbelenggu. Maka aku membacakan kepadanya Fatihatul Kitab selama tiga hari setiap pagi dan petang. Aku menghimpun ludahku, lalu kuludahkan kepadanya sehingga si gila tersebut seakan-akan baru lepas dari ikatannya (sembuh), lalu mereka memberiku upah. Tetapi aku berkata, “Jangan.” Mereka berkata, “ Tanyakanlah dahulu kepada Nabi saw.” Aku bertanya kepada Nabi saw. dan beliau bersabda, “Makanlah demi umurku, barang siapa yang memakan (dari hasil) ruqyah yang batil (hukumnya haram), sesunguhnya engkau makan dari ruqyah yang benar.”
Terapi ruqyah untuk gangguan jiwa ini telah dipraktekkan di beberapa pesantren di Indonesia. Misalnya di Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya (Praja, 1995: 61-63), Pondok Pesantren Raudhatul Muttaqien Yogyakarta, Pondok Pesantren Al Ghafur Situbondo (Rendra, 2000: 219), Pondok Pesantren Al Islamy, Kulon Progo, Yogyakarta (Setyanto, 2005: 55-58), dan di beberapa Pondok Pesantren maupun Yayasan Islam lainnya.
Secara medis metode ruqyah dalam arti membacakan ayat-ayat atau doa-doa yang terdapat di dalam Al Qur’an maupun As Sunnah, sudah dapat diterima keefektifannya dalam terapi gangguan jiwa. Beberapa penerapan terapi doa, senada dengan ruqyah (doa dari Al Qur’an dan As Sunnah) yang dilakukan pada terapi gangguan jiwa di berbagai tempat telah membantu penyembuhan para penderita gangguan jiwa. Misalnya Dr. Dossey , dokter lulusan Universitas di Texas, menjelaskan bahwa hasil penelitian di Universitas Redland, California menunjukkan bahwa doa mempunyai pengaruh terhadap penyembuhan gangguan jiwa (T. Hemaya, 1997: 171-172). Selanjutnya hasil penelitian Snyderman (1996) menyatakan bahwa terapi medik saja tanpa disertai dengan agama (berdoa dan berzikir) tidaklah lengkap, sebaliknya terapi agama saja tanpa disertai dengan terapi medik tidaklah efektif (Hawari, 2002: 24). Suatu organisasi yang bernama Pastoral and Humanization Service telah memberikan pelayanan kesehatan jiwa agama ke rumah-rumah sakit dalam bentuk rawatan rohani pada penderita yang selama ini hanya menerima rawatan medik psikiatrik saja. Ternyata metode integrasi ini membawa hasil yang lebih baik, yaitu gejala-gejala gangguan jiwa lebih cepat teratasi dan lamanya perawatan di rumah sakit jiwa (long stay hospitalization) dapat diperpendek (Hawari, 2002: 50).
Berdasarkan beberapa penelitian tentang pengaruh do’a terhadap penyembuhan gangguan jiwa di atas, secara tidak langsung membuktikan bahwa terapi ruqyah, dengan menggunakan doa dari Al Qur’an dan As Sunnah, mempunyai pengaruh terhadap penyembuhan gangguan kejiwaan.

5. Terapi Ruqyah untuk Gangguan Jin
Gangguan Jin merupakan fenomena penyakit yang khas, meskipun biasanya mempunyai gejala yang hampir sama dengan penyakit fisik dan psikis. Biasanya baru diketahui setelah berbagai macam pengobatan fisik dan psikis gagal mengatasinya. Misalnya pasien sudah diobati dengan berbagai obat fisik, tetapi tidak ada pengaruhnya dan sakitnya tetap tidak berkurang. Demikian juga pasien sudah diberi berbagai obat psikis, misalnya obat penenang, tetapi pasien tetap tidak bisa tidur dan tetap agresif maupun menutup diri dalam jangka waktu lama. Tetapi kadang-kadang cepat diketahui oleh orang yang berpengalaman dalam meruqyah gangguan jin, karena ada tanda-tanda khusus yang tampak (misalnya pandangan mata maupun pancaran energinya yang dapat dirasakan). Tetapi yang paling jelas adalah reaksi si pasien setelah dibacakan ayat-ayat Al Qur’an maupun doa-doa dari Al Qur’an dan As Sunnah. Biasanya ada reaksi geliatan tubuh, mimik takut atau marah, teriakan-teriakan, dan sebagainya.
Berkaitan dengan fenomena di atas, maka terapi ruqyah terhadap gangguan jin perlu dilakukan. Ali bin Muhammad bin Mahdi al Qarni dan Syek Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz secara garis besar menjelaskan proses terapi ruqyah terhadap gangguan jin sebagai berikut:
1. Pada Tahap Persiapan
a. Bagi terapis :
1) Mempunyai akidah yang bersih dan murni dan direalisasikannya dalam ucapan dan perbuatan.
2) Ia yakin bahwa firman Allah mempunyai pengaruh yang dahsyat untuk mengusir jin dan setan atas izin Allah SWT.
3) Mengetahui seluk beluk tentang jin.
4) Mengetahui pintu-pintu atau peluang-peluang masuknya jin.
5) Mengetahui perbuatan-perbuatan haram yang menyebabkan masuknya setan.
6)Biasa berdzikir kepada Allah SWT.
7) Beniat ikhlash ketika mengobati.
8) Sebelum mengobati hendaknya ia dan pasien berwudlu terlebih dahulu.
9)Memohon bantuan kepada Allah SWT dalam mengusir jin.
10)Menjauhkan tempat pengobatan dari lagu-lagu, musik, gambar-gambar yang menjurus pada maksiyat, situasi yang menjurus maksiyat, anjing di rumah, dsb.

b.. Bagi Pasien.
1) Si pasien dan keluarga diberi pengetahuan dan nasihat-nasihat tentang aqidah Islam yang benar dan murni sehingga hatinya terlepas dari ketergantungan selain Allah SWT.
2) Dijelaskan pada pasien perbedaan pengobatan ruqyah dengan pengobatan ahli sihir dan dukun, serta dijelaskan pada pasien bahwa Al Quran mengandung obat dan rahmat bagi orang yang beriman.
3) Jika pasien memakai azimat hendaknya dibuang dan dibakar.
4) Jika pasien tersebut seorang wanita, hendaknya tertutup auratnya, disertai seorang mahram, dan orang lain selain mahramnya dilarang masuk ke tempat pengobatan.
2. Pada tahap pengobatan
Pada tahap ini terapis membaca Surat atau ayat-ayat yang dapat mengusir jin, misalnya: Al Fatihah, Al Ikhlash, Al Falaq, An Naas, ayat Kursi, tiga ayat terakhir dari Surat Al Baqarah, dsb.

3. Pasca Pengobatan.
a. Si pasien hendaknya menjaga shalat berjamaah.
b. Si pasien senantiasa berdzikir kepada Allah SWT.
c. Si pasien beberapa hari atau minggu setelah pengobatan kembali lagi pada terapis untuk dibacakan ayat-ayat Al Qur’an kembali.
d. Si pasien hendaknya selalu membaca basmalah setiap saat dan kesempatan.
e. Si pasien aktif mendengarkan bacaan Al Quran atau membacanya sendiri (Ali, 1999: 80-86).
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa terapi ruqyah tidak hanya digunakan untuk terapi gangguan jin sebagaimana difahami orang, tetapi dapat juga digunakan untuk penyembuhan sakit fisik maupun psikis. Secara medis terapi ruqyah dapat diterima keefektifannya dalam penymbuhan fisik maupun psikis.

Hakikat , metode , fungsi sosiologi agama

A. Makna Sosiologi Agama
Sebelum memaknai sosiologi agama secara komprehensif, maka perlu dijelaskan makna sosiologi serta agama secara terpisah terlebih dahulu.
1. Pengertian Sosiologi
Secara Etimologi / harfiah atau berdasarkan makna kata SOSIOLOGI berasal dari 2 suku kata yaitu dari kata Latin “ Socius “yang berarti kawandan kata Yunani “Logos “ yang berarti kata fikiran atau ilmu pengetahuan.atau berbicara jadi menurut Auguste Comte Sosiologi berarti “ berbicara mengenai masyarakat “.
Secara terminologi Sosiologi ialah ilmu pengetahuan tentang pergaulan hidup manusia, yaitu hubungan perseorangan dengan golongan, hubungan golongan dengan golongan.
Pengertian sosiologi menurut para pakar :
a. W.F Ogburn dan M.F Nimkoff dalam buku mereka handbook of sociology “, memberikan definisi sosiologi yaitu sebagai berikut : sociologi is the scientific of social life, yang maksudnya sosiologi adalah studi secara ilmiah terhadap kehidupan sosial.
b. George A Lundberg : Sosiologi adalah mempelajari tingkah laku sosial daripada orang-orang dan kelompok-kelompok.
c. Prof. Groenman : sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tindakan-tindakan manusia dalam usahanya menyesuaikan diri dalam suatu ikatan. Penyesuaian ini meliputi :
 Menyesuaikan diri terhadap lingkungan geografi.
 Menyesuaikan diri terhadap sesama manusia.
 Penyesuaian diri dengan lingkungan kebudayaan sekelilingnya,
d. Ibnu Khaldun : Sosiologi yaitu mempelajari tentang masyarakat manusia dalam bentuknya yang bermacam-macam watak dan ciri-ciri dari tiap-tiap bentuk dan hukum-hukum yang menguasai perkembangannya.
e. Prof. M.M Djojodiguno SH : Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang bersasaran hidup bermasyarakat artinya yang di selidiki selaku bendanya ialah hidup bermasyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas ternyata masih ada simpang siurnya, yang satu berbeda dengan yang lain. Namun demikian didalam perbedaan itu terdapat persesuaian yang dapat kita simpulkan :
a) Merupakan hidup bermasyarakat dalam arti yang luas.
b) Perkembangan masyarakat di dalam segala aspeknya
c) Hubungan antar manusia dengan manusia lainnya dalam segala aspeknya.
Dalam pengertian secara umum sosiologi merupakan studi tentang masyarakat yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok, dengan segala kegiatan, dan kebiasaan serta lembaga-lembaga yang penting sehingga masyarakat dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan manusia.
Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
Kesimpulannya sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu dengan individu, individu dengan masyarakat, dan masyarakat dengan masyarakat.
Selain itu, Dari beberapa pengertian sosiologi diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa sosiologi agama secara luas adalah ilmu tentang masyarakat dan gejala-gejala mengenai masyarakat. Sosiologi seperti itu disebut macro sociology, yaitu ilmu tentang gejala-gejala sosioal, institusi-institusi sosial dan pengaruhnya kepada masyarakat

2. Pengertian Agama
Ada tiga istilah yang dikenal tentang agama, yaitu: agama, religi dan din. Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta, yang berasal dari akar katagam artinya pergi. Kemudian akar kata gam tersebut mendapat awalan a dan akhiran a, maka terbentuklah kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan untuk mencapai kebahagiaan.
Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang akar katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, agama artinya tidak kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya, bahkan menjelang matinya.
Sedangkan secara terminologi, agama dan religi ialah suatu tata kepercayaan atas adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu tata penyembahan kepada yang Agung tersebut, serta suatu tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan yang Agung, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan tata penyembahan tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada agama dan religi terdapat empat unsur penting, yaitu:
1. tata pengakuan atau kepercayaan terhadap adanya Yang Agung
2. tata hubungan atau tata penyembahan terhadap yang Agung itu dalam bentuk ritus, kultus dan pemujaan,
3. tata kaidah/doktrin, sehingga muncul balasan berupa kebahagiaan bagi yang berbuat baik/jujur, dan kesengsaraan bagi yang berbuat buruk/jahat,
4. tata sikap terhadap dunia, yang menghadapi dunia ini kadang-kadang sangat terpengaruh (involved) sebagaimana golongan materialisme atau menyingkir/menjauhi/uzlah (isolated) dari dunia, sebagaimana golongan spiritualisme.
Agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya.
Lebih lanjut, makna agama dalam “The Encyclopedia of Phylosophy” pada entri “Religion” ada beberapa diantaranya: (Dhurkheim, 1995: 7). Agama menurut James Martineau adalah “kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak Illahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia”. Agama adalah pengakuan bahwa segala sesuatu merupakan manifestasi dari Kuasa yang melampaui pengetahuan kita”. Definisi ini dibuat oleh Herbert Spencer. Menurut Mathew Arnold, agama adalah “ etika yang ditingkatkan, dinyalakan, dan diterangi oleh perasaan”. Sedangkan Edward Caird mendefinisikan agama sebagai “ungkapan dari sikap akhirnya pada alam semesta, makna dan tujuan singkat dari seluruh kesadarannya pada segala sesuatu”.

3. Pengertian Sosiologi Agama
Sosiologi agama merupakan studi tentang fenomena social, dan memandang agama sebagai fenomena social. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat. Ia adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
Namun menurut ahli sosiologi agama J. Milton Yinger memandang agama sebagai sistem kepercayaan dan praktik dengan mana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah terakhir dari hidup ini. Sedangkan menurut J. Wach dalam agama ada tiga aspek yang perlu diperhatikan yaitu: aspek teoritis, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan. Kedua aspek praktis, bahwa agama merupakan sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga aspek sosiologis, bahwa agama mempunyai sistem interaksi sosial.
Banyak sekali pengertian atau makna sosiologi agama yang dipaparkan oleh para tokoh sosiologi. Di mana ilmu sosiologi agama merupakan bagian atau cabang dari sosiologi umum, sehingga tokoh atau para ilmuan sosial yang berkicambung di dalam ilmu sosiologi juga ikut memberikan masukan serta pemikiran dalam memaknai atau memberikan pengertian sosiologi agama.
Menurut Dr. H. Goddijn/Dr. W. Goddijn definisi sosiologi agama adalah bagian dari sosiologi umum yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profan dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan.
Definisi lain yang lebih jelas diberikan oleh Drs. D. Hendropuspito tentang sosiologi agama yaitu suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
Ahli sosiologi J. Wach juga merumuskan pengertian sosiologi agama secara luas sebagai suatu studi tentang interelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antara mereka.
Berdasarkan definisi di atas dapat dibedakan berdasarkan tugasnya antara sosiologi umum serta sosiologi agama yaitu jika tugas sosiologi umum adalah untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seluas-luasnya, maka tugas dari sosiologi agama adalah untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat agama khususnya.

B. Metode Sosiologi Agama
Metode berhubungan dengan proses-proses kognitif yang dituntut oleh persoalan-persoalan yang muncul dari ciri pokok studi itu atau dengan kata lain metode adalah kombinasi sistematik dari proses-proses kognitif dengan menggunakan teknis khusus. Klasifikasi, konseptualisasi, abstraksi, penilain, observasi, penilaian, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, argumen dari analogi dan akhirnya pemahaman itu sendiri adalah proses-proses kognitif. Metode yang satu berbeda dengan metode yang lain, sesuai dengan perbedaan cara yang digunakan untuk pikiran manusia dan tugas-tugas yang dijalankan oleh pikiran tersebut. Dalam setiap metode ilmiah terdapat hubugan yang dekat dan sistematik antara teori dan pengalaman. Pengamatan dan eksperimen membantu kita dengan evidensi untuk membuat generalisasi dan hipotesis-hipotesis yang di tes lewat deduksi-deduksi darinya serta membandingkan semua ini dengan akibat-akibat dari pengamatan dan eksperimen-eksperimen lebih lanjut
Secara umum dalam ilmu sosiologi, metode yang digunakan hanya dua jenis yaitu metode empiris serta metode rasionalistis. Metode empiris yaitu metode yang menyandarkan diri pada keadaan-keadaan yang dengan nyata di dapat di dalam masyarakat. Metode empiris dalam sosiologi diwujudkan dalam reseach atau penelitian.
Teknik-teknik reseach sudah demikian rupa perkembangannya dan menjadi metode ilmu pada umumnya. Teknik-teknik empiris itu pada umumnya berdasarkan pengalaman dan observasi terutama melalui alat-alat indra manusia.
Di dalam ilmu sosial metode-metode empiris itu harus diperkuat oleh metode mengerti ( Verstehe ) yang akan membantu memberi penilaian terhadap hal-hal yang subyektif lainnya yang kesemuanya sebagian saja nampak oleh indra mata.
Sedangkan metode rasionalistis yaitu metode yang disandarkan pada pemikiran dan logika sehat untuk mencapai pengertian tentang masalah-masalah kemasyarakatan.
Penelitian sosiologi agama menggunakan metode ilmiah. Bidang studinya meliputi fakta relegius yang bersifat subjektif seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan maksud seseorang yang diungkapkan dalam tindakan-tindakan luar. Pemahaman ungkapan-ungkapan subjektif inilah yang membuat fakta menjadi suatu tindakan kebaktian, bukan sekedar gerakan biasa. Keadaan-keadaan itu dianggap bersifat subjektif karena terjadi dalam subjek manusia.
Penelitian agama sebagai penelitian ilmiah harus memenuhi karakteristik ilmiah yaitu:
1. Didasarkan atas analisis yang empiris
2. Memenuhi syarat verification and falsification
3. Memenuhi syarat konsistensi logis
4. Mempunyai karakteristik intersubjectif dan interkomunikatif
Dengan demikian penelitian sosiologi agama adalah disiplin ilmiah yang mencari pengetahuan seobjektif mungkn mengenai agama atau agama-agama atau gejala agama.
Ada sedikit cara yang ditempuh oleh sosiologi agama untuk mencapai tujuannya. Sosiologi agama menempuh cara yang sama seperti sosiologi umum untuk mencapai maksudnya ialah dengan observasi, interview dan angket mengenai masalah-masalah keagamaan yang dianggap penting dan sanggup memberikan data-data yang dibutuhkan.
Berdasarkan pengertian psikologik, observasi atau yang biasa disebut dengan pengamatan adalah kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Jadi mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba dan pengecap.
Dalam penelitian, observasi dapat dikategorikan dalam dua jenis:
1. Observasi non-sistematis yaitu yang dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan instrumen pengamatan.
2. Observasi sistematis yaitu yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan pedoman sebagai instrumen pengamatan.
Metode kedua yang digunakan di dalam sosiologi agama adalah interview atau yang biasa disebut dengan istilah wawancara. Wawancara itu sendiri merupakan proses interaksi dan komunikasi yang mencakupi beberapa komponen yaitu pewawancara, responden, serta alat (kuesioner).
Metode berikutnya yang digunakan sosiologi agama dalam mencapai tujuannya adalah angket atau kuesioner yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui.
Beberapa keuntungan metode angket ini diantaranya adalah dapat dijawab responden menurut kepercayaannya masing-masing, dapat dibuat anonim sehingga responden bebas, jujur dan tidak malu-malu menjawab. Dan metode ini sangat relevan dengan sosiologi agama yang membahas agama dalam lingkup sosialnya bukan hanya teologinya.
1. Karakteristik Metode penelitian sosiologi Agama
Dalam memahami sasaran kajiannya, sosiologi agama mempunyai karakteristik sendiri, diantaranya yaitu:
1. Agama adalah fenomena yang terjadi dalam subjek manusia serta terungapkan dalam tanda dan simbol. Oleh karena itu perlu kecermatan dari peneliti untuk bisa memilih dan mengkategorikan mana simbol dan tanda yang masuk pada sistem kepercayaan. Memahami gejala keagamaan tidak hanya bisa mmelihat gerakan-gerakan tertentu tetapi juga harus dimengerti gerakan itu dengan memahami kata-kata dan maksud sipelaku. Berdasarkan itu dapat disimpulkan bahwa suatu gerakan itu merupakan fenomena keagamaan.
2. Fakta relegius bersifat subyektif. Ia merupakan keadaan mental manusia relegius dalam melihat dan menginterptretasikan hal-hal tertentu. Bagi seorang peneliti, fakta relegius itu bisa bersifat objektif dengan cara membiarkan fakta berbicara untuk dirinya. Seorang peneliti harus bisa menempatkan suatu gejala keagamaan menjadi suatu fakta dengan cara memahami bahwa manusia relegius memberikan penilaian relegius yang mempengaruhi tindakan-tindakan dan perilakunya, bahwa mereka menerima norma-norma dan aturan-aturan dalam ungkapan keyakinan relegius mereka.
3. Pemahaman makna fenomena agama diperoleh melalui pemahaman ungkapan-ungkapan keagamaan. Ungkapan-ungkapan keagamaan meliputi kata-kata, tanda-tanda dan tingkah laku yang ekspresif, hanya melalui ekspresiflah seorang peneliti bisa menangkap pikiran-pikiran keagamaan seseorang dan hanya dengan jalan menyelami-melalui empati dan pengalaman keagamaan peneliti seorang peneliti dapat memahami pemikiran dan makna keagamaan orang lain
4. Pemahaman suatu fenomena relegius meliputi empati terhadap pengalaman, pemikiran, emosi, dan ide ide orang yang memluk suatu agama. Empati adalah usaha untuk mencoba memahami perilaku orang lain berdasarkan pengalaman dan perilaku dirinya sendiri
5. Fakta keagamaan adalah fakta psikis dan spiritual. Oleh karenanya cara yang tepat dalam penelitian sosiologi agama adalah oenelitian kualitatif dengan cara pemahaman tingkah laku orang beragama untuk menangkap lebbih dalam dan intensionalitas dari data relegius orang lain yang merupakan ekspresi dari pengalaman relegius dan iman yang lebih dalam.

2. Reseach tentang Agama
Dalam dunia modern sekarang ini reseach tentang agama telah berkembang diantaraya terbukti dari pembentukan the sociaty for the scientific study of relegion di Amerika pada tahun 1950. Tujuannya adalah untuk menghimpun para sarjana agama dan sarjana-sarjana sosial . saling mendorong dan memperkaya agama masig-masing yang mempelajari agama secara ilmiah, menggalakkan penyelidikan agama secara ilmiah, mengajukan proyek-proyek reseach dan untuk membantu dan mendorong reseach bersama. Penerbitannya yang pertama berupa tengah tahunan ialah journal for thee scientific study of relegion terbit pada tahun 1961. Hasil dari reseach lembaga ini sangat banyak membantu, himpunan ini telah melaksanakan 48 proyek yang diterbitkan dalam 78 jilid.
C. Fungsi Sosiologi Agama
Jika kita telah satu persatu, Fungsi utama agama adalah untuk mengurangi kegelisahan, memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri dan yang terpenting adalah memelihara keadaan manusia agar tetap siap menghadapai realitas. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil dan sebagainya.
Kegunaan Sosiologi dalam forum keilmuan merupakan suatu sumbangan yang tidak kecil bagi instansi keagamaan. Sebagimana sosilogi positif telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjkkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian pula sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah soaial non-keagamaan.dalam bidang teoritis di mana para ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep dan resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka soiologi agama dapat memberikan sumbangannya.
Demikian juga adanya sosiologi agama dalam forum keilmuan merupakan suatu sumbangan yang tidak kecil bagi instansi keagamaan. Sosiologi agama berfungsi untuk membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial non-keagamaan.
Dengan kata lain sosiologi agama dapat membantu para pemuka agama memecahkan masalah keagamaan yang berkaitan dengan sosial/praktis di lapangan, dikala dalam konsep-konsep keagamaan/teologis sulit untuk ditemukan jawabannya.
Sosiologi agama berfungsi membantu memecahkan masalah sosial-religius dikarenakan, ilmu ini bukan untuk membuktikan kebenaran ajaran agama, melainkan untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ikhwal masyarakat agama. Sehingga ilmu ini disebut juga dengan ilmu praktis, empiris dan positif.
Meskipun harapan yang ditaruh pada sosiologi agama mempunyai dasar yang obyektif, namun kiranya perlu dicantumkan suatu himbauan kepada instansi yang berkepentingan agar tidak menaruh harapan yang berlebihan karena:
1. Sosiologi agama sebagai suatu ilmu masih merupakan ilmu yang relatif sangat muda, berarti pengalamannya masih terbatas.
2. Keterangan-keterangan ilmiah yang dihasilkan sosiologi agama tidak akan menyelesaikan segala kesulitan secara tuntas. Segi kesulitan yang bukan sosiologis harus dimintakan resep dari ilmu yang bersangkutan. Misalnya: teknologi, ekonomi, demografi dan lain-lain.
3. Resep-resep (ilmiah) yang diberikan oleh sosiologi agama hendaknya tidak diharapkan dapat membawakan hasil (khasiat) langsung.
Menurut pandangan Durkheim, fungsi sosiologi agama adalah mendukung dan melestraikan masyarakat yang sudah ada. Djamari berpendapat bahwa ada 2 implikasi sosiologi agama bagi agama, yaitu:
1. Menambah pengertian tentang hakikat fenomena agama di beragai kelompok masyarakat, maupun pada tingkat individu;
2. Suatu kritik sosiologis tentang peran agama dalam mayarakat dapat membantu kita untuk menentukan masalah teologi yang mana yang paling berguna bagi masyarakat, baik dalam arti sekuler maupun religious.
Dengan cara ini, sosiologi agama memberikan sumbangan kepada dialog kegamaan di dalam masyarakat. Semua pelopor sosiologi Eropa, seperti Karl Marx, Weber, Durkheim, serta Simmel berpendapat bahwa untuk mengerti masyarakat modern, seseorang harus mengerti peran penting agama dalam masyarakat.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More