Blogroll

Postingan
Komentar

Selasa, 04 Oktober 2011

Sejarah Perkembangan Sosiologi Pendidikan Islam

1. Sejarah Perkembangan Sosiologi
Berkembangnya ilmu pengetahuan di abad pencerahan (sekitar abad ke-17 M), turut berpengaruh terhadap pandangan mengenai perubahan masyarakat, ciri-ciri ilmiah mulai tampak di abad ini. Para ahli di zaman itu berpendapat bahwa pandangan mengenai perubahan masyarakat harus berpedoman pada akal budi manusia.
Pemikiran dan perhatian intelektual terhadap masalah-masalah serta isu-isu yang berhubungan dengan sosiologi sudah lama berkembang sebelum sosiologi itu lahir sebagai disiplin Ilmu. Para ahli filsafat pencerahan (Enligtenment) pada abad ke- 18 sudah menekankan peranan akal budi yang potensial dalam memahami perilaku manusia dan dalam memberikan landasan untuk hokum-hukum dan organisasi Negara. Pemikiran mereka lebih ditekankan pada dobrakan utama terhadap pemikiran abad pertengahan yang bergaya skolastik atay dogmatis dimana perilaku manusia dan organisasi masyarakat itu sudah dijelaskan dalam hubungannya dengan kepercayaan-kepercayaan agama.
Sejarawan dan filsuf sosial islam Tunisia, Ibn Khaldun (1332-1406), sudah merumuskan suatu model tentang suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat-masyarakat halus yang bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras . Karya Ibn Khaldun tersebut dituangkan dalam bukunya yang berjudul Al-Muqoddimah tentang sejarah dunia dan sosial budaya yang dipandang sebagai karya besar di bidang tersebut . Dari kajiannya tentang watak masyarakat manusia, Khaldun menyimpulkan bahwa kehidupan nomaden lebih dahulu ada dibanding kehidupan kota dan masing-masing kehidupan ini memiliki karakteristik tersendiri. Menurut pengamatannya, polotik tidak akan timbul kecuali dengan penaklukan, dan penaklukan tidak akan terealisasi kecuali dengan solidaritas. Lebih jauh lagi, ia mengemukakan bahwa kelompok yang terkalahkan selalu senang mengekor ke kelompok yang menang, baik dalam selogan, pakaian, kendaraan, dan tradisi. Selain itu, salah satu watak seorang raja adalah sikapnya yang menggemari kemewahan, kesenangan, dan kedamaian. Dan apabila hal-hal ini semuanya mewatnai sebuah Negara maka Negara itu akan masuk dalam masa senja. Dengan demikian kebudayaan ttu adalah tujuan masyarakat manusia dan akhir usia senja .
Pendapat Khaldun tentang watak-watak masyarakat manusia dijadikannya sebagai landasan konsepsinya bahwa kebudayaan dalam berbagai bangsa berkembang melalui empat fase, yaitu fase primitive atau nomaden, fase urbanisasi, fase kemewahan, dan fase kemunduran yang mengantarkan kehancuran. Kemudian keempat perkembangan ini oleh Ibn Khaldun sering disebut dengan fase pembangunan, pemberi kabar gembira, penurut, dan penghancur.
Model masyarakat yang Khaldun gambarkan mengenai tipe-tipe social dan perubahan sosial diwarnai oleh warisan khusus dari pengalaman dunia gurun pasir di Jazirah Arab. Tujuannya tidak hanya untuk memberikan suatu derskripsi historis mengenai masyarakat-masyarakat Islam Arab, tetapi untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang mengatur dinamika masyarakat dan proses perubahan social secara keseluruhan. Semangat atau sikap ilmiahnya dalam menganalisis sosial budaya, pada umumnya mendekati bentuk peneelitian ilmiah modern, dan isinya secara substantive dapat disejajarkan dengan teori social modern. Namun demikian, karya Khaldun sudah banyak diabaikan oleh para ahli teori social di Eropa dan Amerika, mungkin antara lain karena dunia Arab saat itu mulai mundur, sedangkan Eropa dan Amerika semakin mendominasi .
Kelahiran sosiologi, lazimya dihubungkan dengan seorang ilmuwan Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857), yang dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan untuk mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empiris yang kuat. Ilmu tentang masyarakat itu pada awalnya Auguste Comte diberi nama “social physics” (fisika sosial), kemudian dirubahnya sendiri dengan “sociology” karena istilah fisika sosial tersebut dalam waktu yang bersamaan digunakan oleh seorang ahli statistik sosial Belgia bernama Adophe Quetelet.
Banyaknya ahli sepakat bahwa banyak faktor yang melatarbelakangi kelahiran sosiologi adalah karena adanya krisis-krisis yang terjadi di dalam masyarakat. Misalnya, Laeyendecker mengaitkan kelahiran sosiologi dengan serangkaian perubahan dan krisis yang terjadi di Eropa Barat. Proses perubahan dan krisis yang diidentifikasi Laeyendecker adalah tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15, perubahan-perubahan di bidang sosial-politik, perubahan berkenaan dengan reformasi Martin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern, berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri, dan revolusi industri pada abad ke-18, serta terjadinya Revolusi Perancis. Sosiologi acapkali disebut sebagai “ilmu keranjang sampah” (dengan nada memuji), karena membahas ikhwal atau masalah yang lebih banyak terfokus pada problem kemasyarakatan yang timbul akibat krisis-krisis sosial yang terjadi.
Sejak awal kelahirannya, sosiologi banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial. Tetapi, berbeda dengan filsafat sosial yang banyak dipengaruhi ilmu alam dan memandang masyarakat sebagai “mekanisme” yang dikuasai hukum-hukum mekanis, sosiologi lebih menempatkan warga masyarakat sebagai individu yang relatif bebas. Para filsuf sosial, seperti Plato dan Aristoteles, umumnya berkeyakinan bahwa seluruh tertib dan keteraturan dunia dan masyarakat langsung berasal dari suatu tertib dan keraturan yang adimanusiawi, abadi, tidak terubahkan, dan ahistoris. Sementara sosiologi justru mempertanyakan keyakinan lama dari para filsuf itu, dan sebagai gantinya muncullah keyakinan baru yang dipandang lebih mencerminkan realitas sosial yang sebenarnya. Para ahli sosiologi telah menyadari bahwa bentuk kehidupan bersama, adalah ciptaan manusia itu sendiri. Bentuk-bentuk masyarakat, gejala pelapisan sosial, dan pola-pola interaksi yang berbeda, sekarang lebih dilihat sebagai hasil inisiatif atau hasil kesepakatan manusia itu sendiri.
Sosiologi mulai memperoleh bentuk dan diakui eksistensinya sekitas abad ke-19, tidaklah berarti bahwa baru pada waktu itu orang memperoleh tentang bagaimana masyarakat dan interaksi sosial. Jauh sebelum Auguste Comte memproklamirkan kehadiran sosiologi, orang-orang telah memiliki pengetahuan tentang kehidupannya yang diperoleh dari pengalamannya. Namun, karena belum dirumuskan dengan metode yang mantap, pengetahuan mereka disebut pengetahuan sosial, bukan pengetahuan ilmiah. Kemudian Auguste Comte menulis buku-buku tentang berbagai pendekatan umum untuk mempelajari masyarakat. Dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan tertentu berdasarkan logika dan setiap penelitian dilakukan melalui tahap-tahap tertentu untuk mencapai tahap akhir, tahap ilmiah. Nama yang diberikan tatkala itu pada ilmu yang baru tersebut pada tahun 1839 adalah “Sosiology” yang berasal dari bahasa Latin socius yang berarti “kawan” dan bahasa Yunani logos yang berarti “kata” atau “berbicara”. Jadi Sosiologi berarti “berbicara mengenai masyarakat”.
Perubahan yang terjadi akibat revolusi benar-benar mencengangkan. Struktur masyarakat yang sudah berlaku ratusan tahun rusak. Bangasawan dan kaum Rohaniwan yang semula bergemilang harta dan kekuasaan, disetarakan haknya dengan rakyat jelata. Raja yang semula berkuasa penuh, kini harus memimpin berdasarkan undang-undang yang di tetapkan. Banyak kerajaan-kerajaan besar di Eropa yang jatuh dan terpecah.
Revolusi Perancis berhasil mengubah struktur masyarakat feodal ke masyarakat yang bebas. Gejolak abad revolusi itu mulai menggugah para ilmuwan pada pemikiran bahwa perubahan masyarakat harus dapat dianalisis. Mereka telah menyakikan betapa perubahan masyarakat yang besar telah membawa banyak korban berupa perang, kemiskinan, pemberontakan dan kerusuhan. Bencana itu dapat dicegah sekiranya perubahan masyarakat sudah diantisipasi secara dini. Perubahan drastis yang terjadi semasa abad revolusi menguatkan pandangan betapa perlunya penjelasan rasional terhadap perubahan besar dalam masyarakat. Artinya :
• Perubahan masyarakat bukan merupakan nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan dapat diketahui penyebab dan akibatnya.
• Harus dicari metode ilmiah yang jelas agar dapat menjadi alat bantu untuk menjelaskan perubahan dalam masyarakat dengan bukti-bukti yang kuat serta masuk akal.
• Dengan metode ilmiah yang tepat (penelitian berulang kali, penjelasan yang teliti, dan perumusan teori berdasarkan pembuktian), perubahan masyarakat sudah dapat diantisipasi sebelumnya sehingga krisis sosial yang parah dapat dicegah.
Sosiologi modern tumbuh pesat di benua Amerika, tepatnya di Amerika Serikat dan Kanada. Mengapa bukan di Eropa? (yang notabene merupakan tempat dimana sosiologi muncul pertama kalinya).
Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, perubahan besar masyarakat pun tak terelakkan.
Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.
Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi.
Keadaaan semacam itu tidak sekedar melanda dalam sosilogi sebab sampai menjelang pertengahan abad ke-19 hampir semua ilmu pengetahuan yang dikenal sekarang ini pernah menjadi bagian dari filsafat dunia barat yang berperan sebagai induk dari ilmu pengetahuan. Pada waktu itu, filsafat mencakup segala usaha-usah pemikiran mengenai masyarakat. Lama-kelamaan, dengan perkembanmgan jaman dan tumbuhnya peradapan manusia, berbagai ilmu pengetahuan yang semula tergabung dalam filsafat memiskinkan diri dan berkembang mengejar tujuan masing-masing. Astronomi (ilmu tentang perbintangan), dan fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang filsafat yang paling awal memisahkan diri, kemudian diikuti oleh ilmu kimia, biologi, dan geologi. Pada abad ke-19 kemudian muncul dua imu pengetahuan baru, yaitu sosiologi dan psikologi. Begitu juga Astronomi yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat yang bernamakan kosmologi, sedangkan alamiah menjadi fisika, filsafat kejiwaan menjadi psikologi, dan filsafat social menjadi sosiologi.
Kata atau istilah ”sosiologi” pertama-tama muncul dalam salah satu jilid karya tulis Auguste Comte (1978 – 1857) yaitu di dalam tulisannya yang berjudul ”Cours de philosophie Positive.” Oleh Comte, istilah sosiologi tersebut disarankan sebagai nama dari suatu disiplin yang mempelajari ”masyarakat” secara ilmiah. Dalam hubungan ini, ia begitu yakin bahwa dunia sosial juga ”berjalan mengikuti hukum-hukum tertentu” sebagaimana halnya dunia fisik atau dunia alam.
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memfokuskan kajiannya pada relasi dalam masyarakat. Ilmu ini lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan (Science). Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangannya sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan lain yang telah berkembangan lebih dahulu. Istilah sosiologi pertama kali muncul dan digunakan oleh Auguste Comte (1798-1857) untuk memberi nama suatu disiplin ilmu yang mempelajari masyarakat. Kemudian pemikiran tersebut dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer (1982-1903) dan Emile Durkheim (1858-1917).
Thomas Hobbes (1588-1697) dan Spinoza (1632-1677) memakai istilah “Fisika Sosial” di dalam menelaah realitas kehidupan sosial manusia. Menurutnya, kehidupan bersama pada dasarnya muncul (berasal) dari dorongan-dorongan aktif dalam diri manusia. Dorongan itu pada hakikatnya adalah mengarah kepada individualisme ekstrem di mana tiap orang adalah lawan orang lain. Akan tetapi, di lain pihak, harus diyakini bahwa terdapat dorongan lainnya, yaitu adanya pengaruh akal budi. Sifat asali akal budi ini berfungsi sebagai penyeimbang yang dapat membuat manusia mencari upaya untuk mencapai kesepakatan dan bentuk-bentuk hidup bersama berdasarkan atas kewajiban-kewajiban yang diakui bersama pula. Kemudian Montesquieu (1689-1755), yang melakukan telaah terhadap kehidupan masyarakat dari sudut pandang hidup bermasyarakat menurut segi hukum-hukum. Antara lain, dia mengajarkan bahwa: a. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat menyatakan dan membuktikan cara berpikir dan bertindak suatu bangsa pada umumnya. bentuk pemerintahannya berakar pada ciri-ciri itu; b. lembaga-lembaga sosial, khususnya pemerintah, menjadi akibat keharusan hukum tertentu yang tak terhindari; c. hukum-hukum yang berlaku di suatu masyarakat diisyaratkan oleh pelbagai faktor iklim, tanah, agama, dan lain-lain.
Atas dasar pengaruh pemikiran tersebut, maka sejak akhir abad ke-19 sosiologi mulai dikembangkan sebagai ilmu atau sains yang sejajar dengan ilmu-ilmu positif atau empirik lainnya. Orang yang mula-mula menyebut nama “Sosiologi” adalah Auguste Comte (1798-1857). Dahulu ia sendiri memakai nama “Fisika Sosial” dengan maksud untuk menegaskan bahwa ilmu masyarakat sebangsa dengan natural science. Walaupun dalam praktiknya dan karangan-karangannya Comte masih bersifat spekulatif dan deduktif. Oleh karena sifat yang demikian, ia ditentang oleh seorang sosiologi berkebangsaan Italia Vilfredo Pareto (1848-1923). Karya Pareto sendiri memang bersifat ilmiah-positif, tetapi untuk sebagian besar termasuk “Psikologi Sosial”.
Banyak sosiolog berpendapat bahwa sebetulnya Emile Dukheim (1857-1917) harus diberi gelar “Bapak Sosiolog”, sedangkan Auguste Comte berstatus sebagai Godfathernya. Maksudnya gagasan sosiologi sebagai ilmu positif berasal dari Comte, tetapi penerapan gagasan itu lebih lanjut dilakukan oleh Durkheim. Untuk pertama kali dalam bukunya yang berjudul “Bunuh diri” (Suicide), Durkheim memakai metode penelitian dan analisis yang kuantitatif, dan peralatan konseptual yang disusun ke dalam teori. Di samping itu, ia membentuk dan merintis juga sosiologi ilmiah dengan memakai riset yang historis dan kualitatif. Ia menggali baik masalah-masalah teori yang mendasari studi organisasi sosial manusia, maupun masalah-masalah metodelogi. Fenomena yang dipelajari sosiologi adalah “fakta sosial”. Kata “Fakta” berarti “kenyataan obyektif yang dapat diamati dan harus diolah sama seperti “fakta alam”. Durkheim membawa pandangannya ini dalam buku The Rules of Sociology Method (1895). Selama hidupnya ia tidak menduga bahwa di masa mendatang justru permasalahan metoda itu akan mengganggu dan menyibukkan sosiologi. Apakah betul bahwa status fenomena sosial sama dengan fenomena alam? Apakah perilaku sosial manusia dapat diterjemahkan ke dalam bahasa matematika (angka-angka) seperti halnya dengan kejadian-kejadian alam?
Apa yang dilakukan Durkheim tersebut bermula sejak abad ke-19, di mana Auguste Comte berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan-urutan tertentu berdasarkan logika dan bahwa setiap penelitian dilakukan melalui tahapan tertentu dan kemudian mencapai tahap akhir. Lebih lanjut, Comte juga berpendapat bahwa penelitian terhadap masyarakat adalah suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri.
2. Sejarah Perkembangan Sosiologi Pendidikan
Sejarah sosiologi pendidikan tidak terlepas dari situasi sosiologi dari zaman ke zaman. August Comte adalah seorang bapak sosiologi dunia yang menanamkan dasar-dasar sosiologi yang kuat. Beberapa buku sosiologi telah ditulisnya, dan yang paling terkenal adalah Positive Psychology. Dari beberapa buku yang telah ditulisnya berkaitan dengan pendekatan-pendekatan untuk mempelajari masyarakat. Setengah abad kemudian, sosiologi berkembang dengan cepat dalam abad 20, terutama di kawasan Perancis, Jerman, dan Amerika. Sosiologi sangat berpengaruh setelah dikembangkan oleh beberapa ahli diantaranya adalah, Karl Max (Jerman), Vil Fredo Pareto (Itali), Pitirin A. Sorotin (Rusia), Laster F. Word (USA).
Lester Frank Word (1841-1913) adalah salah seorang pelopor sosiologi di Amerika Serikat yang dianggap sebagai pencetus gagasan tentang lahirnya sosiologi pendidikan. Gagasan ini tersusun dalam karyanya Applied Sociology (sosiologi terapan) yang khusus mempelajari perubahan-perubahan masyarakat karena usaha manusia. Menurutnya, kekuatan dinamis dalam gejala sosial adalah perasaan yang terdiri dari beberapa keinginan dan beberapa kepentingan. Perasaan merupakan kekuatan individu karena interaksi, kemudian berubah menjadi kekuatan sosial. Dari kekuatan sosial tersebut mempunyai kekuatan untuk menggerakkan kecakapan-kecakapan manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Gagasan Lester Frank Word tersebut dikembangkan oleh John Dewey(1859-1852) sebagai ahli pendidikan dan sekaligus pelopor sosiologi pendidikan. Dalam karya termasyhurnya yang berjudul Schol and Society yang terbit pada tahun 1899, menekan sekolah sebagai institusi sosial. Ia memandang bahwa hubungan antara lembaaga pendidikan dan masyarakat sangat penting. Dewey meneliti tentang kehidupan anak-anak kota yang tampak acuh dan buta terhadap produk yang dimanfaatkan setiap hari, seperti pakaian, gas, peralatan rumah tangga, dan sebagainya, mereka hanya tinggal memakai tanpa tahu bagaimana cara membuatnya. Kondisi yang seperti ini dapat diperbaiki melalui dengan jembatan lembaga pendidikan.
Salah seorang tokoh penting dalam khazanah perkembangan sosiologi pendidikan adalah Emile Durkheim (1858-1917) terutama pandangannya terhadap pendidikan sebagai suatu social thing (ikhtisar sosial). Atas dasar pandangan ini beliau mengatakan bahwa “pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi bermacam-macam. Keragaman bentuk dimaksud sebenarnya mengikuti banyaknya perbedaan lingkungan di masyarakat sendiri”.
Dalam perkembangan selanjutnya, Menheim sebagai sosiolog yang memasuki dan menekuni dunia pendidikan, memandang bahwa pendidikan adalah sebagai salah satu elemen dinamis dalam sosiologi. Ia nyatakan dalam statemennya yang menyebutkan bahwa “ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya.
Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap atau sebagai alat transfer keahlian teknis, akan tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia”. Terlebih lagi jika pendidikan dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan masyarakat yang sangat beragam sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Seperti dinyatakan Max Weber (1864-1920) bahwa pendidikan pada masyarakat dan tahap perkembangannya sangat beragam. Keadaan dan peran pendidikan pada masyarakat praindustri jauh berbeda dengan masyarakat modern dewasa ini. Bila pendidikan pada masyarakat praindustri menempatkan orang pada status sosial tertentu, pendidikan pada masyarakat maju justru merupakan alat untuk mobilitas sosial vertikal. Menurut Menheim penggunaan pendekatan sosiologis terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, tidak saja dapat membawa nilai positif di dalam perumusan tujuan pendidikan, akan tetapi dapat pula membantu pada pengembangan konten dan metodologi.
Dalam perkembangan selanjudnya, mulai tahun 1938-1947 sosiologi pendidikan mengalami kemandegan. Faktor penyebabnya adalah sosiologi pendidikan yang digantikan oleh kuliah-kuliah dalam sosiologi. Dengan alasan bahwa bagi pendidikan guru lebih berguna bila diberi sosiologi dari pada diberi kuliah khusus mengenai sosiologi pendidikan. Pada masa-masa stagnan ini, yang dapat dilakukan hanya review of educational research pada tahun 1940.
Untuk membangkitkan kembali sosiologi pendidikan, maka pada tahun 1943 sampai dengan 1945, Institut sosiologi di London menyelenggarakan konferensi-konferensi tentang sosiologi dan pendidikan. Berkat konferensi tersebut, pada tahun-tahun berikutnya muncul begitu banyak buku pendidikan yang diwarnai sudut pandang sosiologi. Clarke menerbitkan buku berjudul Freedom in the Educative Sociology pada tahun 1948. Kemudian pada tahun 1950 WAC. Steward menulis artikel penting yang dimuat pada Sociological Review, dengan judul Philosophy and Sociology in The Training of Teacher, dimana artikel ini dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan kurikulum pendidikan guru.Dalam artikelnya, steward menggunakan istilah-istilah yang biasa digunakan untuk sosiologi pendidikan, seperti sociological approach to education, educational sociology, dan sociology of education.
Pada tahun 1960 sosiologi mendapat perhatian yang luar biasa. Para mahasiswa melimpah ruah, perekonomian melaju naik, dan pembaharuan dapat diraih melalui proses politik yang ada. Pada tahun 1965 partai buruh di Inggris mempercepat proses peralihan yang lamban ini ke arah pendidikan yang lebih komprehensif dalam rangka untuk menghilangkan ketidaksamaan kesempatan.
Sosiologi pendidikan dikuliahkan pertama kali oleh Henry Suzzalo tahun 1910 di Teacher College, Universitas Columbia. Tetapi baru tahun 1917 terbit texbook sosiologi pendidikan yang pertama kali karya Walter R. Smith dengan judul “Introduction to Educational Sosiologi”. Pada tahun 1916 di Universitas New York dan Columbia didirikan Jurusan Sosiologi Pendidikan. Himpunan untuk studi sosiologi pendidikan dibentuk pada konggres Himpunan Sosiologi Amerika dalam tahun 1923. sejak tahun itu diterbitkan buku tahunan sosiologi pendidikan. Pada tahun 1928 terbitlah The Journal of Educational Sosiology di bawah pimpinan E. George Payne. Majalah Sosial Education mulai terbit dalam tahun 1936. sejak tahun 1940 dalam Review of Educational Research dimuat pula artikel-artikel yang mempunyai hubungan dengan sosiologi pendidikan.
Selama 40 tahun perkembangan sosiologi pendidikan berjalan lambat, tapi kokoh dan pasti. Semula hanya buku “Educational Sosiology” yang menjadi “Sosiology of Education”. Kemudian sejumlah buku sosiologi pendidikan yang ditulis bermunculan, seperti “An Introduction to Education Sosiology”, “Foundation of Education Sosiology”, “Sosiology of Teaching”, “The Teacher and Society”. Perkembangan sosiologi pendidikan di Inggris, ketika diangkatnya Clarke sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Kependidikan di London. Dia sangat yakin bahwa konstribusi sosiologi kepada pendidikan sangatlah besar. Dan kemdian ia menegaskan bahwa titik pijak sosiologi supaya diaplikasikan dalam dunia pendidikan.
Vembriarto menegaskan bahwa sosiologi pendidikan sebagai salah satu cabang dari sosiologi khusus dapat diartikan sebagai sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental yang memusatkan perhatian pada penyelidikan daerah yang saling dilingkupi antara sosiologi dengan ilmu pendidikan. Tugas dari sosiologi pendidikan adalah melakukan penelitian dalam bidang pendidikan, terutama dalam kaitan dengan struktur dan dinamika proses pendidikan. Pengertian struktur adalah teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian, dan interelasinya dengan tata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika adalah proses sosio dan kultural, proses perkembangan kepribadian dalam hubungannya dengan proses pendidikan.
Menurut pendapat Drs. Ary H. Gunawan, bahwa sejarah sosiologi pendidikan terdiri dari 4 fase, yaitu:
a. Fase pertama, dimana sosiologi sebagai bagian dari pandangan tentang kehidupan bersama filsafat umum. Pada fase ini sosiologi merupakan cabang filsafat, maka namanya adalah filsafat sosial.
b. Dalam fase kedua ini, timbul keinginan-keinginan untuk membangun susunan ilmu berdasarkan pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa nyata (empiris). Jadi pada fase ini mulai adanya keinginan memisahkan diri antara filsafat dengan sosial.
c. Sosiologi pada fase ketiga ini, merupakan fase awal dari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Orang mengatakan bahwa Comte adalah “bapak sosiologi”, karena ialah yang pertama kali mempergunakan istilah sosiologi dalam pembahasan tentang masyarakat. Sedangkan Saint Simon dianggap sebagai “perintis jalan” bagi sosiologi. Ia bermaksud membentuk ilmu yang disebut “Psycho-Politique”. Dengan ilmu tersebut Saint Simon dan juga Comte mengambil rumusan dari Turgot (1726-1781) sebagai orang yang berjasa terhadap sosiologi, sehingga sosiologi menjadi tumbuh sendiri.
d. Pada fase yang keempat ini, ciri utamanya adalah keinginan untuk bersama-sama memberikan batas yang tegas tentang obyek sosiologi, sekaligus memberikan pengertian-pengertian dan metode-metode sosiologi yang khusus. Pelopor sosiologi yang otonom dalam metodenya ini berada pada akhir abad 18 dan awal 19 antara lain adalah Fiche, Novalis, Adam Muller, Hegel, dan lain-lain.

3. Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam
Sejarah Pendidikan Islam pada masa Rasulullah periode Mekkah, yakni Sejak Nabi diutus sebagai Rasul hingga hijrah ke Madinah-kurang lebih sejak tahun 611 M – 622 M atau selama 12 tahun tahun 5 bulan 21 hari, sistem pendidikan islam lebih bertumpu kepada Nabi. Bahkan tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan atau menentukan materi-materi pendidikan, selain Nabi.
Mahmud Yunus dalam Sejarah Pendidikan Islam, menyatakan bahwa pembinaan pendidikan islam pada masa Mekkah ini meliputi :
Pendidikan Keagamaan ,yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan mempersekutukanNya dengan berhala, karena Dia Tuhan yang Maha Besar dan Maha Pemurah, sebab itu hendaklah dienyahkan berhala itu sejauh-jauhnya.
Pola pendidikan yang dilakukan Rasulullah Sejalan dengan tahapan-tahapan dakwah yang disampaikan kepada kaum Quraisy. Dalam hal ini Kamaruzzaman di dalam buku Sejarah Pendidikan Islam membagi kepada 3 tahap :
a. Tahap pendidikan Islam secara Rahasia dan Perorangan
Pada awal turunnya wahyu pertama Al Quran surat Al Alaq ayat 1-5, Pola pendidikan yang dilakukan adalah sembunyi-sembunyi mengingat kondisi sosial-politik yang belum stabil, dimulai dari dirinya sendiri dan keluarga dekatnya. Mula-mula Rasulullah mendidik isterinya, Khadijah untuk beriman dan menerima petunjuk dari Allah, kemudian diikuti oleh anak angkatnya Ali ibn Abi Thalib ( anak pamannya ) dan Zaid ibn Haritsah ( seorang pembantu rumah tangganya yang kemudian diangkat menjadi anak angkatnya ). Kemudian sahabat karibya Abu Bakar Siddiq. Secara berangsur-angsur ajakan tersebut di sampaikan secara meluas, tetapi masih terbatas di kalangan keluarga dekat dari suku Quraisy.
b. Tahap pendidikan Islam secara terang-terangan
Perintah dakwah secara terang-terangan dilakukan oleh Rasulullah, seiring dengan jumlah sahabat yang semakin banyak dan untuk meningkatkan jangkau seruan dakwah, karena diyakini dengan dakwah tersebut banyak kaum Quraisy yang akan masuk agama islam.
c. Tahap pendidikan Islam untuk Umum
Rasulullah mengubah strategi dakwahnya dari seruan yang terfokus kepada keluarga dekat beralih kepada seruan umum, umat manusia secara keseluruhan. Seruan dalam skala “ internasional “ tersebut didasarkan kepada perintah Allah dalam surah Al Hijr ayat 94-95.
Materi pendidikan pada fase Mekkah yang diberikan oleh Rasulullah antara lain, yaitu :
Pendidikan Tauhid, Pelaksanaan atau praktek pendidikan tauhid tersebut diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya dengan cara yang sangat bijaksana yaitu dengan menuntun akal pikiran untuk mendapatkan dan meniru pengertian tauhid yang di ajarkan, dan sekaligus beliau memberikan teladan dan contoh bagaimana pelaksanaan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari secara kongkrit, kemudian beliau memerintahkan agar umatnya mencontoh praktek pelaksanaan tersebut sesuai dengan apa yang dicontohkanya. Berarti di sini Nabi Muhammad SAW telah mampu menyesuikan diri dengan pola kehidupan masyarakat jahiliah dengan mengajarkan ilmu tauhid secara baik dengan tanpa kekerasan.
Pendidikan Amal dan Ibadah, Pada awalnya Nabi sholatnya bersama sahabat-sahabatnya secara sembunyi-sembunyi. Namun setelah Umar ibn Khattab masuk islam beliau melakukannya secara terang-terangan. Pada mulanya sholat itu belum dilakukan sebanyak lima kali sehari semalam kemudian setelah Nabi Isra’ dan Mi’raj barulah diwajibkan untuk sholat lima waktu. Adapun zakat semasa di Mekkah diberikan kepada fakir miskin dan anak-anak yatim serta membelanjakan
Pendidikan Akhlaq, Diantara akhlaq yang baik yang dianjurkan Nabi masa di Mekkah, yaitu sebagai berikut : 1) Adil yang mutlak, meskipun terhadap keluarga atau diri sendiri 2) Pemaaf 3) Menepati janji, tepat pada waktunya. 4) Takut kepada Allah semata dan tiada takut kepada berhala 5) Berbuat kebaikan kepada kedua orangtua, dan sebagainya.
Pada fase Mekkah materi pengajaran Al Quran yang diberikan hanya berkisar pada ayat-ayat Al Quran pada surah-surah yang diturunkan ketika Nabi sebelum Hijrah ke Madinah. Surah yang diturun di Mekkah inilah yang kemudian dikenal dengan nama surah Makkiyah.
Pendidikan Islam adalah rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sesuai dengan nilai-nilai islam, sehingga terjadilah perubahan pribadinya sebagai makhluk individual, sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitar dimana ia hidup.
Penulis Kamaruzzaman dalam buku Sejarah Pendidikan Islam, menyebutkan ada dua tempat yang menjadi lembaga pendidikan Islam pada fase Mekkah, yaitu :
- Rumah Arqam ibn Arqam merupakan tempat pertama berkumpulnya kaum muslimin beserta Rasulullah untuk belajar hukum – hukum dan dasar-dasar ajaran Islam. Rumah ini merupakan lembaga pendidikan pertama atau madrasah yang pertama sekali dalam islam, adapun yang mengajar dalam lembaga tersebut adalah Rasulullah sendiri.
- Kuttab, Pendidikan di Kuttab pada awalnya lebih terfokus pada materi baca tulis sastra, syair Arab, dan pembelajaran berhitung namun setelah datang Islam materinya ditambah dengan materi baca tulis Al Quran dan memahami hukum-hukum Islam.

4. Sejarah Perkembangan Sosiologi Pendidikan di Indonesia
Sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).
Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM . Beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang beberapa pengertian elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai Filsafat. Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk Masyarakat Indonesia yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi yang modern.
Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden di Belanda. Beliau juga menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit pada tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun 1962. Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi terbit tahun 1964.
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.
Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Sosiologi, suatu pengantar, Sri Paku Buwono IV dari Surakarta (Solo) dapat dikatakan telah membicarakan Sosiologi dalam karyanya”Wulang Reh”, walaupun sosiologi sebagai ilmu belum dikenal secara formal. Ki Hajar Dewantara juga telah memberikan sumbangannya kepada sosiologi dengan konsep kepemimpinan, pendidikan, serta kekeluargaan di Indonesia, dan kini menjadi inti dari kepemimpinan Pancasila, yaitu”Ing ngarsasung tukladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”.
Setelah Perang Dunia II, Mr. Djody Gondokoesoema telah menerbitkan buku Sosiolagi Indonesia. Kemudian Hasan Shadily dengan bukunya Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia telah memuat bahan-bahan sosiologi modern. Juga Mayor Polak dengan bukunya (disertasi) Social Change In Yogyakarta (1962) merupakan sebuah karya ilmiah yanmg memaparkan tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat Yogyakarta sebagai akibat revolusi politik dan sosial pada waktu pusat revolusi masih berada di Yogyakarta.
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dengan bukunya bejudul Setangkai Bunga Sosiologi (1964), adalah sebuah buku yang merupakan himpunan berbagai cuplikan dari buku-buku teks ringkas dalam bahasa Indonesia, dan merupakan literatur wajib untuk kuliah pengantar sosiologi pada berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Selanjutnya masih banyak buku-buku sosiologi dalam bahsa Indonesia yang bermunculan menghiasi dan menngisi kependidikan kita.
Perkembangan sosiologi pendidikan di Indonesia baru pada tahun 1967, sosiologi pendidikan diberikan pertama kali di IKIP Negeri Yogyakarta Jurusan Didaktik Kurikulum. Ditinjau dari usianya, lapangan penelitiannya serta struktur dan prosesnya, sosiologi pendidikan merupakan disiplin yang masih sangat muda. Namun demikian, ilmu ini makin lama makin berkembang menuju kepada statusnya yang lebih pasti dan memiliki lapangan penelitian khusus.

1 komentar:

sangat bagus artikelnya, sangat membantu

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More